Mudzakkir, dosen hukum pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menilai, konsep hubungan seksual atau persetubuhan di luar perkawinan dalam KUHP menganut “kebebasan Seksual” alias free sex yang sudah merasuk budaya Indonesia. Dia menyarankan agar konsep persetubuhan ini diubah dengan mengacu Pasal 1 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945.
“Rumusan delik Pasal 284 KUHP (perzinaan) atau persetubuhan ini harus diharmonisasi dengan UU Perkawinan dan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945,” saran Mudzakkir saat memberi pandangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian aturan perzinaan, pemerkosaan dalam KUHP di ruang sidang MK, Selasa (26/7). Sebelumnya, Pemerintah sudah memberikan tanggapan atas pengujian ini.
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Pasal 1 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dia melanjutkan pasca amandemen UUD 1945 terutama Pasal 28B ayat (1) itu telah memberi penegasan bahwa hukum hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan sah dilarang dalam hukum pidana. Sebab, UU Perkawinan telah menegaskan lembaga perkawinan sebagai satu-satunya dasar legalisasi persetubuhan atau hubungan seksual.
“Jadi, MK perlu meluruskan makna setiap ‘hubungan seksual atau persetubuhan’ di luar ikatan perkawinan yang sah harus dilarang. Apalagi, persetubuhan disertai kekerasan (pemerkosaan), persetubuhan dengan anak di bawah umur, atau hubungan seksual menyimpang (homoseksual) yang seharusnya hukumannya diperberat,” papar ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini.
“Subjek hukum Pasal 285 KUHP pun seharusnya tidak terbatas pada laki-laki, tetapi juga perempuan karena dalam perkembangannya perempuan dapat memperkosa laki-laki.”
Karena itu, melalui uji materi perlu dirumuskan kembali sistem hukum nasional Indonesia yang telah melindungi perkawinan yang sah. “KUHP saat ini yang merupakan produk hukum kolonial Belanda harus dinasionalisasi dengan merujuk pada Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 29 dan Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 yang merupakan bagian dari HAM,” tegasnya.
Sebelumnya, 12 orang warga negara, Prof Euis Sunarti (Guru Besar IPB) dkk mempersoalkan aturan perzinaan (Pasal 284 KUHP), pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) dan homoseksual (Pasal 292 KUHP). Aturan itu dinilai mengancam ketahahan keluarga di Indonesia yang pada akhirnya mengancam ketahanan nasional. Sebab, pada hakikatnya agama-agama di Indonesia melarang perzinaan di luar perkawinan (Pasal 284 KUHP), melarang pemerkosaan kepada siapa saja (Pasal 285 KUHP) dan melarang hubungan sesama jenis (Pasal 292 KUHP).
Ahli Pemohon lain, Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, Dadang Hawari menegaskan fenomena munculnya penganut free sex dan perkawinan sejenis dengan dalih HAM hakikatnya bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, agama, dan falsafah Pancasila. Lagipula, konsep HAM yang dianut negara-negara barat berbeda dengan konsep HAM yang dianut di Indonesia.
“HAM kita beda dengan HAM barat yang tidak didasarkan nilai Ketuhanan. HAM di Indonesia adalah Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, Tuhan memang melarang seks bebas dan perkawinan sejenis. Islam sendiri mendekati zina saja dilarang, apalagi melakukannya?” kata pria yang dikenal psikiater ini.
Para Pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dimaknai bersyarat agar sejalan dengan norma agama yang berlaku di Indonesia. Misalnya, memperluas makna perzinaan dalam Pasal 284 KUHP yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi mencakup hubungan badan dilakukan pasangan yang tidak terikat pernikahan. Sebab, secara a contrario Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).
Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285 KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Sebab, dimaknainya frasa “perempuan yang bukan istrinya” menjadikan korban perkosaan tak hanya wanita, tetapi bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis.
Selain itu, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukkan negara hanya memberi kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, dan tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Bagi Pemohon, tidak ada kebutuhan lain mempertahankan produk zaman kolonial selain harus ditegaskannya kembali nilai-nilai agama sebagai pedoman hidup bermasyarakat dalam hukum positif negara.