Salah satu ilmu hukum yang menarik untuk di diskusikan adalah pemikiran Prof. Esmi Warassih tentang optik ilmu hukum kontemplatif. hasil buah pikir Prof. Esmi tak bisa dilepaskan dari pemikiran sosiologi hukum kontemplatif (verstehende soziologie). lantas kontemplasi seperti apa yang dikembangkan Guru Besar Ilmu Hukum Undip itu?
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi cetak terbaru (edisi keempat, September 2015) mengartikan lema ‘kontemplasi’ sebagai ‘renungan dan sebagainya dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh’. Jika disebut berkontemplasi, berarti maksudnya ‘merenung dan berpikir dengan sepenuh perhatian’.
Sudah 40 tahun lamanya Esmi Warassih menggeluti dunia hukum, bukan saja akrab dengan pemikiran sang guru, Prof. Satjipto Rahardjo, tetapi juga dengan orang lain yang berinteraksi dengannya. Bukan hanya orang hukum, tetapi juga berlatar belakang ilmu lainnya. Sebab tatanan dalam kehidupan riil manusia ini bukan hanya tatanan hukum. Hukum hanya sebagian tatanan yang jalin menjalin dengan tatanan lain.
Dalam rentang waktu itu pula Esmi berpikir, merenung, dan menuangkan buah pikir dan buah perenungannya ke dalam sejumlah tulisan. Ia juga sering mengajak para pemangku kepentingan untuk merenungi masalah-masalah hukum yang dihadapi masyarakat. Itu pula sebabnya, ilmu hukum tak selayaknya statis; ia harus dinamis, seperti yang dipaparkan Satjipto Rahardjo: ilmu hukum tak dapat menempatkan dirinya terisolasi secara intelektual berhadapan dengan perkembangan masyarakat.
Ajakan merenung itu misalnya tampak dari paparan Esmi Warassih di Sekolah Hukum Progresif yang berlangsung di Unika Atmajaya Yogyakarta dua tahun lalu. “Mereka yang mempelajari hukum Indonesia dan hanya dipandu oleh peta hukum negara akan mengalami kekecewaan. Hukum negara dan tatanan ketertiban setempat sudah berkelindan satu sama lain, sehingga apa yang berlaku pada arus lokal bisa berbeda dari hal-hal yang tercantum dalam hukum”. Ajakan lebih konkrit itu bisa dibaca dalam tulisannya yang lain, ‘Sosiologi Hukum Kontemplatif’.
Bahan introspeksi itu adalah ajakan kepada siapapun yang melihat dan mempelajari peta hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Apalagi’ penegakan hukum di Indonesia merupakan persoalan yang tak pernah terselesaikan’. Penegakan hukum itu adalah suatu proses yang panjang. Yang harus dilakukan adalah perubahan paradigma cara berhukum, perubahan sistem birokrasi, kultur birokrasi, dan sikap mental penegak hukum.
Aparat penegak hukum tak bisa semata-mata mengandalkan rumusan teks perundang-undangan. “Ketika orang melihat persoalan, mereka memang pakai undang-undang, tetapi mereka tidak menggunakan mata hati,” ujar Esmi
Hukum, sebagai ilmu yang dinamis, haruslah berbasis pada kenyataan hukum di masyarakat. Melihat suatu persoalan hukum tak bisa diselesaikan dengan hanya satu pendekatan, satu optik belaka. Masalah harus dilihat secara holistik, bukan hanya pakai kacamata teks undang-undang. Kritik Prof. Esmi terhadap cara berhukum yang tekstual: ‘apakah artinya memidana anak manusia yang mencari sesuap nasi atau korban produk peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang tidak adil?’
Pendidikan tinggi hukum yang positivistik pada hakikatnya tak dapat dipertahankan lagi. Jumlah peraturan perundang-undangan memang banyak. Tetapi peraturan itu juga semakin membelenggu kehidupan sehingga kemanfaatan dan keadilan kian sulit terwujud. Hukum cenderung dibuat untuk melegitimasi kepentingan tertentu, meskipun tentu saja punya legitimasi yuridis karena dibahas bersama legislatif dan eksekutif. Dalam kodisi demikianlah, semua pemangku kepentingan hukum perlu diajak untuk mengubah cara pandang.
Makna kontemplatif
Dengan merujuk pada konsep ilmu hukum kontemplasi yang dimaksud Prof. Esmi, Anthon F. Susanto, dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, merangkum beberapa makna kontemplatif. Pertama, ia bisa berupa identitas, ciri, atau penanda yang diberikan khusus untuk menggambarkan keunikan ilmu hukum yang berbeda dari gagasan umum hukum Barat yang selama ini diajarkan. Tetapi ia juga memuat unsur-unsur umum mengapa hukum dapat memenuhi syarat sebagai ilmu.
Kedua, kontemplatif mengandung makna sebuah proses pencarian yang terus menerus yang telah dilakukan seseorang, dalam konteks ini Prof. Esmi Warassih, dalam perjalanan hidup dan realitas penegakan hukum yang carut marut.
Ketiga,kontemplasi bisa bermakna identitas khusus dalam arti ke-Indonesia-an. Indonesia memiliki keragaman dalam banyak hal. Kontemplasi pada tahap ini membawa seseorang pada realitas pluralisme di bawah payung Pancasila.
Keempat, kontemplasi bisa bermakna perilaku keteladanan sebagai landasan berhukum dalam masyarakat. Dalam konteks ini, kontemplasi bermakna sebuah paradigma baru dalam berhukum yang lebih mengutamakan pembaruan moral dan akal budi. Apalagi, penggerak utama hukum adalah manusia yang punya akal dan budi.
Kelima, kontemplasi bermakna sebagai pembebasan dari penindasan hukum di Indonesia, sebagai opsi alternatif dari hukum yang mengungkung. Bagi Prof. Esmi dan kaum Tjipian –pengikut pandangan Satjipto Rahardjo—hukum itu dibuat untuk membebaskan, hukum itu untuk manusia.
Keenam, kontemplatif bermakna sebagai pengalaman religius. Pengalaman religious acapkali menjadi dasar keterlibatan dan perenungan tentang cara berhukum. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Nilai-nilai spiritual yang dihasilkan menjadi basis berhukum di dalam masyarakat.