Prof. Retno Saraswati, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, mengatakan penempatan kalimat ‘Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa’ pada setiap perundang-undangan bermakna nilai-nilai ketuhanan seharusnya menjiwai proses pembentukan dan materi Undang-Undang tersebut.
Sayangnya, kalimat ketuhanan itu terkesan hanya sekadar pemuatan formal dalam setiap Undang-Undang. “Isinya sering tidak mencerminkan nilai-nilai ketuhanan,” kata Retno saat tampil sebagai pembicara pada Seminar Nasional Hukum Spiritual Pluralistik yang berlangsung di Semarang, Jum’at (21/10).
Nilai ketuhanan selalu dicantumkan dalam setiap pembentukan Undang-Undang. Namun dalam pelaksanaan dan penegakan hukum, nilai-nilai ketuhanan masih sering diabaikan. Mirisnya lagi justru jika nilai ketuhanan itu ditinggalkan dan dilupakan aparat penegakan hukum.
Prof. Retno percaya jika aparat penegak hukum benar-benar menjiwai dan mengejawantahkan nilai-nilai ketuhanan dalam menjalankan tugas, maka penegakan hukum akan berjalan baik. Kalau aparat penegak hukum menerapkan nilai religiositas, maka secara moral mereka akan takut melakukan penyimpangan hukum. Tapi faktanya lain. “Kadang nilai Ketuhanan dilupakan,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Eman Suparman memberi contoh konkrit seorang ketua pengadilan agama di Sumatera Barat. Ketua Pengadilan Agama itu terjaring razia petugas Satpol PP saat bersama seorang lelaki yang bukan muhrim di kamar hotel. Kasus ini, kata Eman, membuktikan adanya kesadaran palsu di kalangan aparat penegak hukum.
Menurut Prof. Retno, cita hukum dan tujuan hukum sudah ada dalam wadah Sistem Hukum Nasional Indonesia. Cita hukum adalah asas atau pemandu yang harus tertuang secara normatif dalam peraturan perundang-undangan. Ia harus menjadi panduan untuk setiap jenis dan jenjang peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Cita hukum (rechtsidee) adalah gagasan, karsa, cipta, dan pikiran yang berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum yang terdiri atas keadilan, hasil guna, dan kepastian hukum. Menurut Prof. Retno, cita hukum itu harus diejawantahkan dalam hukum positif, lembaga hukum, dan perilaku pemerintah dan warga negara
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, misalnya, cita hukum itu tertuang dalam kalimat ‘Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa’. Benar bahwa ada kepentingan politik, ekonomi, dan lain-lain yang mempengaruhi proses pembentukan suatu Undang-Undang. Tetapi seharusnya nilai-nilai ketuhanan sebagai bagian penting dari cita hukum Indonesia menjiwai. (Baca Juga: Dalam Sistem Peradilan, Perlu Diatur Bukti Elektronik dan Prosedur Perolehan)