Terkuaknya peredaran vaksin palsu, apa dan bagaimanapun konstruksi dan alurnya, tidak bijak hanya dituding hanya kasus kejahatan pemalsuan belaka. Namun persoalan struktural yang menghendaki tanggungjawab Pemerintah menjamin pelayanan kesehatan otentik.
“Pemerintah jangan lempar tanggungjawab dan menggiring vaksin palsu hanya kejahatan ekonomi-kesehatan yang bersifat horizontal, kasusitis dan mikro yuridis antara masyarakat pengguna atau konsumen dengan pelaku-pelaku pemalsuan saja,” kata Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni, Sabtu (16/7/2016).
Muhammad Joni menuturkan, historis kejahatan pemalsuan memiliki kausalitas dengan lemahnya rantai pengawasan nyata. Jangan terkecoh pengawasan hanya pengawasan administratif di atas kertas dan pemerintah menganggap pengawasannya selesai hanya membuat SOP (standard operational prosedur).
“Watak asli pengawasan itu macan lapangan bukan macan kertas,” kata Muhammad Joni yang juga aktis perlindungan anak ini.
Seketat apapun SOP dirancang pasti memiliki celah dan bisa dikangkangi. Pada titik itulah Pemerintah wajib bekerja otentik melakukan pengawasan lapangan (on the spot) atas rantai produksi, peredaran dan penggunaan obat, sedian farmasi dan alat kesehatan (alkes).
“Kua konstitusi Negara terutama Pemerintah yang bertanggunjawab atas hak pelayanan kesehatan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, bahkan hak hidup, kelangsungan hidup serta hak tumbuh kembang anak sebagai hak asasi manusia (HAM) yang dijamin Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945,” terang Muhammad Joni.
Soal vaksin palsu ini mesti didudukkan sebagai gangguan struktural dan kegagalan sistemik yang berdampak serius, bukan seakan hanya kasus kejahatan biasa.
Mengapa MKI mencermati 3 (tiga) alasan structural dan strategis ini? Pertama, vaksin palsu menyasar anak, termasuk bayi dan balita yang merupakan kelompok rentan (vulnerable group) yang membutuhkan perlindungan khusus. Apalagi vaksin yang tidak lain adalah kuman atau patogen yang dilemahkan dengan formula tertentu yang beresiko jika vaksin palsu masuk ke tubuh rentan anak.
Sekecil apapun kuman atau patogen yang memasuki tubuh rentan anak berpengaruh kepada tumbuh kembang bahkan kelangsungan hidup dan hidup anak, padahal hak hidup merupakan hak utama (supreme right).
Selain mencegah penyakit, program vaksinisasi bermaksud mencegah kematian anak termasuk bayi dan balita, apalagi hak hidup adalah hak anak (right of the child) yang tidak boleh dikurangi walaupun cuma sedikit dan dalam keadaan darurat sekalipun.
Mesti disadari, efek vaksin palsu berkorelasi dengan rentanitas atas hak hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.
Kedua, pemalsuan benda strategis apalagi vaksin kepada anak, termasuk bayi dan balita yang merupakan kelompok rentan, yang membahayakan lapiran strategis kependudukan nasional.
Pemalsuan vaksin bukan kasus kejahatan biasa, namun masalah struktural yang berkaitan dengan political will dan ketangguhan pengawasan nyata terhadap fasilitas kesehatan (faskes), obat, sedian farmasi, dan alkes, bahkan tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Pemerintah tidak boleh mentolerir (zero tollerance) adanya satu satuan apapun anasir palsu penggunaan obat, sedian farmasi, alkes, bahkan menjamin tenaga medis dan tenaga kesehatan pada setiap unit faskes, baik pada layanan primer, layanan sekunder maupun layanan tersier.
Juga, tidak mentolerir sistem kontrol yang gagal menangkal anasir palsu merasuk rantai produksi, peredaran dan pengunaan obat, sedia farmasi, dan alkes. Pada titik inilah, Pemerintah tidak bijak lepas tanggungjawab atas vaksin palsu, apalagi menyederhanakannya sebagai hanya kasus kriminal ekonomi-kesehatan biasa.
Ketiga, Terjadinya kejahatan vaksin palsu itu merupakan respon atas kesenjangan produksi, indeks kemalahan obat dan sedian farmasi serta lemahnya pengawasan nyata terhadap rantai persedian, penyaluran, penggunaannya.
Hal itu merupakan ranah Pemerintah yang berwenang mengatasinya. Sebagai barang strategis, apalagi dalam program nasional, celah masuknya anasir palsu mesti ditutup erat dengan kebijakan persedian obat dan sedian farmasi nasional dengan mengoptimalkan produksi BUMN farmasi bagi kebutuhan domestik.
Pada titik ini, masalah strukturalnya BUMN farmasi mestinya menjadi penyangga kebutuhan nasional, jangan berorientasi prot produksi farmasi baik kebutuhan domestik sehingga kelangkaan dan mahalnya vaksin bisa ditanggulangi BUMN farmasi untuk kebutuhan program nasional vaksinisasi.
“Dengan 3 alasan itu, pemerintah mesti cepat membenahi kontrol atas rantai produksi, peredaran dan penggunaan vaksin, menyangga produksi vaksi nasional dan melakukan pembinaan terhadap faskes demi menjamin hak konstituional anak atas hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang,” tegas Muhammad Joni yang tercatat sebagai tim ahli hukum Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).