Munculnya istilah makar pasca ditangkapnya 11 aktivis pada beberapa hari yang lalu, mendorong Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) melayangkan uji materi pasal makar ke Mahkamah Konstitusi (MK). ICJR meminta tafsir definisi “makar” dalam Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
ICJR beralasan ada perbedaan definisi makar dalam KUHP terjemahan bahasa Indonesia dan KUHP (asli) versi Belanda yang mengakibatkan kekeliruan dalam penerapan pasal-pasal tindak pidana makar dalam praktik peradilan pidana. Sebab, merujuk Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI), istilah makar disebut aanslag yang sebenarnya diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “serangan”.
“KUHP terjemahan Indonesia dan terjemahan otentik dari KUHP Belanda berbeda. Disitu kata ‘Aanslag’ dalam pasal-pasal yang diuji diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut ‘makar’, padahal artinya ‘serangan’,” ujar Peneliti ICJR, Erasmus TA Napitupulu.
Pasal 87 KUHP terjemahan Indonesia disebutkan “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila ada niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti disebut Pasal 53 KUHP.” Pasal 104 KUHP disebutkan “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden memerintah diancam pidana mati atau seumur hidup, atau pidana paling lama 20 tahun.” Sedangkan Pasal 107 ayat (1) KUHP disebutkan “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah diancam pidana penjara paling lama 15 tahun.
Erasmus menilai kata aanslag yang diterjemahkan sebagai makar tidaklah tepat. Sebab, keduanya dalam konteks bahasa Indonesia jelas sangat berbeda. Padahal, sejatinya kata aanslag jika diterjemahkan bahasa Indonesia lebih tepat diartikan sebagai “serangan”. Hal ini berakibat ketujuh pasal tersebut mengandung ketidakjelasan rumusan dan tujuan (asas legalitas) yang menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap delik makar.
“Ketika aanslag diterjemahkan menjadi makar terjadi pergeseran makna. Ini dikarenakan makar sendiri diserap dari bahasa Arab yang artinya ‘penghianatan’. Kemudian pasal makar dalam KUHP dimaknai secara sederhana berupa penghianatan,” dalihnya.
Bagi ICJR pengertian makar sendiri diartikan sebagai sifat dari suatu perbuatan. Seperti, makar menggulingkan pemerintahan yang sah, makar untuk memisahkan diri dari wilayah Indonesia, makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden. Dengan begitu, apabila makar diartikan sebagai serangan mesti memenuhi unsur adanya serangan dalam konteks tindakan kekerasan, seperti mempersiapkan adanya senjata, mobilisasi massa.
Atas dasar itu, ICJR meminta agar kata “makar” dalam Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sama seperti aanslag atau serangan. “Ini diharapkan, aparat penegak hukum memiliki indikator yang jelas untuk membedakan mana yang benar-benar makar dan tidak. Kalau masyarakat atau mahasiswa demo meneriakan orasi ‘turunkan presiden’ nanti bisa disebut makar. Jadi, harus dibedakan mana ekspresi atau makar,” tegasnya.
Dia menambahkan selama ini beberapa kasus delik makar memiliki karakteristik yang sama, jaksa atau hakim tidak menjelaskan unsur makar sebagai serangan. Seperti, kasus Sehu Blesman dalam putusan MA No. 574 K/Pid/2012, dan kasus Semuel Waileruny dalam putusan MA No. 1827 K/Pid/2007. Keduanya divonis 5 tahun dan 3 tahun penjara karena terbukti makar, memiliki niat memisahkan diri dari Indonesia hanya gara-gara merayakan kemerdekaan Papua Barat dan hendak mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS).