Terkait perizinan pertambangan yang diberikan kepada PT Freeport Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, sudah mempertimbangkan sisi penerimaan negara, termasuk perpajakan. Hal ini disampaikan Sri di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (13/2). Maka dari itu, setelah Freeport mendapat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) maka perusahaan asal AS tersebut harus mengikuti aturan yang ada.
Meski tidak menjelaskan secara gamblang, namun Sri memberikan sinyal bahwa terkait aturan perpajakan Freeport tetap harus mengikuti IUPK. Menurut Sri, secara garis besar ketetapan pemberian IUPK ini sudah mempertimbangkan kepastian usaha bagi Freeport dan menjaga penerimaan negara. Selain itu dari sisi ekonomi daerah, pemerintah ingin mendorong Freeport untuk membangun industri dalam negeri dan menyerap bahan baku dalam negeri.
Ia menambahkan, “Dari sisi penerimaan negara ada yang dari pajak, PPh, PPN, ada yang dari royalti, ada yang dari PBB. Itu semuanya dicakup didalam pembahasan mengenai apa yang disebut bagian penerimaan negara,”
Namun, Sri juga menyadari bahwa di satu sisi perusahaan swasta seperti Freeport juga membutuhkan kepastian investasi jangka panjang apalagi dengan nilai investasi yang besar. “Jadi dua kepastian. Penerimaan begi negara dan kepastian investasi mereka (Freeport),” katanya.
Sebelumnya, Freeport ingin agar aturan perpajakan yang mereka anut tetap mengacu pada Kontrak Karya (KK), meski secara hukum mereka merupakan pemegang IUPK. Artinya, Freeport ingin mendapat insentif pajak. Sebetulnya, IUPK memaksa Freeport tunduk pada Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2017 tentang Minerba. Dalam beleid tersebut ditetapkan sistem pajak prevailing di mana Freeport harus ikut aturan yang berlaku.
Sistem prevailing artinya, pajak dan royalti yang dibayar Freeport dapat dinamis sesuai aturan yang ada. Sedangkan Freeport bersikukuh untuk memegang aturan perpajakan dalam KK, di mana sifatnya naildown. Sistem ini membuat Freeport harus membayar pajak dan royalti dengan ketentuan yang tetap, tanpa perubahan hingga kontrak usai. Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 13 tahun 2017 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Aturan baru ini sekaligus merevisi PMK nomor 140 tahun 2016 yang juga mengatur soal bea keluar.