Mahkamah Agung (MA) berpandangan keberadaan hakim agung nonkarier masih relevan untuk dipertahankan. Sebab, praktik penanganan perkara menunjukkan pada bidang-bidang tertentu masih dibutuhkan ‘keahlian khusus’ dalam rangka mengimbangi kemampuan hakim karier.
“Hakim agung nonkarier keahliannya memang dibutuhkan MA berkaitan penyelesaian tugas pokok mengadili dan memutus perkara,” kata Hakim Agung, I Gusti Agung Sumanatha saat mewakili MA sebagai pihak terkait dalam pengujian UU MA dan MK yang dimohonkan hakim Lilik Mulyadi dan Binsar M Gultom ruang sidang MK, Senin (29/8).
Agung melanjutkan selama ini kolaborasi hakim karier dan nonkarier dalam penyelesaian perkara cukup kondusif dan efektif. Hal ini terbukti, dalam dua tahun terakhir tingkat penyelesaian perkara di MA mencapai angka tertinggi dalam sejarah berdirinya lembaga pengadilan tertinggi ini.
Namun, tataran implementasi dalam hal persyaratan calon hakim agung (CHA) nonkarier yang diatur Pasal 6B dan Pasal 7 huruf b UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA) perlu disesuaikan dengan pesan rasio legis yakni “keahlian khusus” yang mendasari dibutuhkannya hakim agung nonkarier.
Pasal 7 huruf b angka 2 dan3 UU MA menyebutkan: (2). berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun; dan (3). berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum.
Menurutnya, frasa “berijazah doktor dan keahlian di bidang hukum” merupakan unsur esensial profesi hakim yang mengedepankan intelektualitas (kompetensi), kemampuan (experience), dan integritas. “Profesi judicial sebagai hakim, unsur norma pengalaman menjadi sangat penting. Idealnya, pengalaman ini direflesikan dengan lamanya seseorang menggeluti disiplin hukum yang dikuasai,” lanjutnya.
“Kiranya, usia minimal hakim agung 55 tahun baik hakim karier maupun nonkarier cukup ideal. Mengingat di usia 55 tahun cukup memberikan kedewasaan dan kebijaksanaan,” harapnya.
Mendukung
Ahli yang dihadirkan Pemohon, A Irmanputra Sidin mendukung pandangan MA yang menaikkan syarat usia CHA dari 45 tahun menjadi 55 tahun. Menurutnya, syarat usia CHA 45 tahun menimbulkan problem konstitusional dan kebuntuan hukum dalam pranata hakim karier. Sebab, untuk menjadi hakim tinggi saja dibutuhkan masa kerja 32 tahun mengingat kenaikan pangkat regular 4 tahun sekali.
“Hakim tinggi saja usia empirisnya 57 tahun karena terdapat kenaikan pangkat regular yang membutuhkan 32 tahun sejak diangkat menjadi hakim di usia 25 tahun,” kata Irman dalam persidangan.
Karena itu, dia menyimpulkan syarat usia CHA 4 tahun inkonstitusional, sehingga makna konstitusionalnya sesuai realitas sistem hakim karier pada usia 55 tahun dan sudah cukup pernah menjadi hakim tinggi. “Syarat usia CHA 55 tahun berlaku sama bagi CHA karier maupun nonkarier,” katanya.
Dalam hal kelembagaan MA dan MK, Irman menganggap keduanya memiliki kedudukan yang setara sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Keduanya, dilengkapi struktur kesekjenan dan kepaniteraan untuk membantu lancarnya penyelenggaraan peradilan. Untuk itu, tidak ada alasan terjadinya perbedaan usia pensiun dan masa jabatan pimpinan MA dan pimpinan MK.
“Seharusnya, hakim agung dan hakim konstitusi memiliki usia pensiun yang sama yakni 70 tahun tanpa periodeisasi 5 tahunan dan masa jabatan Ketua MK dan Wakil Ketua MK harus diselaraskan dengan masa jabatan ketua MA dan wakil ketua MA,” kata dia.
Menurutnya, periodeisasi 5 tahunan masa jabatan hakim konstitusi mengikuti periodeisasi kekuasaan politik presiden dan DPR. “Jadi, masa jabatan hakim konstitusi ikut periodeisasi politik rasionya bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman merdeka yang dijamin konstitusi,” tambahnya.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom bersama Hakim Tinggi Medan Lilik Mulyadi memohon pengujian Pasal 6B ayat (2); Pasal 7 huruf a angka 4 dan 6; Pasal 7 huruf b angka 1-4 UU MA jo Pasal 4 ayat (3); dan Pasal 22 UU MK terkait syarat usia, pengalaman, ijazah minimal calon hakim agung dan calon hakim MK, dan periodisasi masa jabatan pimpinan MA dan MK.
Menurutnya ada persoalan diskriminasi persyaratan CHA karier dan nonkarier. Jika dibandingkan syarat CHA nonkarier tidak sebanding karena CHA nonkarier cukup syarat berpendidikan doktor dan pengalaman bidang hukum 20 tahun. Dia berharap syarat CHA bisa mempermudah hakim karier dan memperketat syarat CHA nonkarier.
Misalnya, hakim agung nonkarier diperlukan jika dibutuhkan memiliki keahlian khusus, syarat usia dinaikkan dari 45 menjadi 55 tahun, berstatus guru besar/profesor dengan gelar doktor hukum, syarat pengalaman dinaikkan dari 20 tahun menjadi 25 tahun. Untuk hakim karier, ada persamaan syarat usia dan pengalaman 20 tahun menjadi hakim termasuk hakim tinggi termasuk menyamakan masa jabatan pimpinan MK dan MA.