Pelayanan publik di pengadilan kerapkali dikeluhkan masyarakat. Tak saja pelayanan persidangan yang tak sesuai jadwal jam sidang, kebersihan toilet pun menjadi hal yang dikeluhkan para pengunjung pengadilan. Aspek pelayanan publik di pengadilan mesti menjadi perhatian khusus, bahkan pembenahan manajemen pelayanan publik di pengadilan oleh Mahkamah Agung (MA).
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Ninik Rahayu, mengatakan MA memiliki kewenangan melakukan pengawasan melalui Badan Pengawasan (Bawas). Terkait pelayanan masyarakat di pengadilan memang tak selamanya dapat diawasi oleh Bawas. Banyaknya pengaduan yang masuk ke Ombudsman menunjukkan pengawasan internal MA ke pengadilan tidak berjalan efektif.
Lembaga tempatnya bernaung menerima banyak pengaduan masyarakat, terkait dengan substansi peradilan. Bedasarkan data Ombudsman, periode 2014 jumlah laporan masyarakat terkait dengan substansi peradilan sebanyak 234 laporan. Sedangkan periode 2015, sebanyak 296 laporan masyarakat. Periode Januari-Juli 2016 seanyak 220 laporan masyarakat.
“Banyak pengaduan yang masuk menunjukkan pengawasan internal tidak berjalan efektif,” ujarnya di Jakarta, Jumat (19/8).
Sedangkan jumlah laporan ditelisik dari aspek badan peradilan periode 2016 mulai Januari- 19 Agustus 2016; Pengadilan Negeri sebanyak 141 laporan, Pengadilan Tinggi sebanyak 16 laporan, Pengadilan Agama sebanyak 16 laporan, Pengadilan Tata Usaha Negara sebanyak 8 laporan dan MA sebanyak 47 laporan.
Jenis substansi laporan mengenai peradilan antara lain berlarutnya pengiriman berkas perkara, keterlambatan pemberian salinan putusan, ketidakjelasan jadwal sidang. Kemudian, kesalahan pengetikan putusan perkara, kesalahan objek putusan pengadilan, keluhan prosedur tilang, hingga proses pemeriksaan oleh majelis hakim. Terhadap aduan tersebut, Ombudsman melakukan kajian administrasi.
Hasilnya, Ombudsman menemukan beberapa temuan. Pertama, adanya penyimpangan prosedur pendaftaran perkara. Kedua, keterlambatan pelaksanaan jadwal sidang. Ketiga, penyimpangan prosedur dalam penyerahan salinan dan petikan putusan. Keempat, praketik percaloan, dan kelima tidak terpenuho standar pelayanan di pengadilan.
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Muhammad Rizaldi, mengatakan setidaknya MaPPI telah melakukan survey di beberapa pengadilan. Tujuannya, menguji seberapa baik pelayanan publik di pengadilan. Selain itu, mengidentifikasi apakah pengadilan telah memberikan hak yang sama dengan kualitas terbaik terhadap masyarakat dalam mengakses layanan di pengadilan.
Pertama, jadwal sidang. Persoalan ini acapkali tak kunjung usai dalam administrasi persidangan di pengadilan. Ketepatan waktu dan efektifitas dalam pemeriksaan perkara berdampak pada pemenuhan asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Pelanggaran terhadap asas ini pun merugikan para pihak, karena tak kunjung memberikan kepastian hukum. Bagi pengadilan, terus mengeluarkan biaya sepanjang perkara belum diputus.
Praktiknya, masih ditemui adanya pengadilan yang tidak memiliki jadwal sidang sebanyak 21,43%. Sedangkan pengadilan yang tidak memperbaharui jadwal sidang sebesar 8,93%. “Lebih spesifik di tiap pengadilan negeri yang kami survei semuanya tidak memiliki jam jadwal sidang” ujarnya.
Kedua, layanan informasi di pengadilan. Menurutnya, setiap orang memiliki akses informasi yang sama di pengadilan. Namun praktiknya, terjadi perbedaan perlakuan yang diberikan oleh petugas pengadilan terhadap pemohon informasi. Masyarakat awam hukum cenderung mendapatkan informasi lebih terbatas dibanding pemohon informasi tertentu.
Ketiga, pungutan liar. Selain persoalan kualitas pelayanan, MaPPI menemukan permasalahan integritas petugas pengadilan. Setidaknya, masih terdapat pengadilan memungut biaya layanan informasi yang bersifat umum. “Hal ini tentunya berdampak pada rendahnya kepuasan masyarakat pengguna layanan umum dan layanan publik di pengadilan,” ujarnya.
Pengawasan gandeng institusi lain
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan Indonesia (LeIP), Edwin Yonathan, mengatakan meningkatnya laporan masyarakat ke Ombudsman terkait substansi peradilan, berbeda halnya dengan Bawas. Menurutnya, berdasarkan laporan Bawas MA periode 2015 menunjukkan adanya penurunan laporan pengaduan masyarakat. Dengan begitu, menunjukkan adanya sesuatu yang tidak diperbaiki oleh Bawas dengan menindaklanjuti laporan masyarakat. (Baca Juga: Lika Liku Sunyinya Mencari Hakim Pengawas yang Sepi)
Namun begitu, Edwin langsung meluruskan. Laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti Bawas lantaran tidak jelasnya identitas pelapor dan dimungkinkan berkas masih dipelajari. Keterbatasan Bawas melakukan pengawasan ke 915 pengadilan di seluruh Indonesia berdampak pelayanan di pengadilan tidak mendapat perhatian. Hal itu disebabkan keterbatasan personil hakim pengawas di Bawas dan anggaran.
Solusinya, Bawas MA mestinya dapat menggandeng institusi lembaga lain dalam melakukan pengawasan yang sifatnya kualitas pelayanan publik. Langkah itu dinilai Edwin dapat bekerja efektif. “Seharusnya Bawas menggandeng pihak-pihak lain. Dan banyak pengawas bisa bekerja lebih baik. Kalau pemeriksaan pengaduan hakim bisa bekerjasama dengan Komisi Yudisial,” ujarnya.
Ninuk mengamini pandangan Edwin. Menurutnya, Bawas MA mesti mengambil terobosan dikala keterbatasan personil dan anggaran. Melibatkan institusi lain dalam melakukan pengawasan di bidang kualitas pelayanan publik di pengadilan adalah jalan tengah. “Ada baiknya melakukan pengawasan melibatkan lembaga lain atau LSM melakukan investigasi,” pungkasnya.