Untuk membidik pelaku tindak pidana korupsi di daerah, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo ingin memperluas jangkauan KPK. Hal ini diharapkan mampu memberikan dampak tersendiri, baik bagi internal maupun sistem yang sudah berjalan selama ini di KPK. Sebab, KPK hingga hari ini masih mengalami berbagai kendala dalam pemberantasan korupsi.
Dalam upaya penanganan korupsi di daerah, misalnya, KPK hanya bisa menindak pelaku yang berasal dari jajaran pimpinan kepala daerah, yakni gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sementara jika ada PNS yang terlibat, KPK akan melimpahkan kasusnya pada aparat penegak hukum lainnya, yakni kepolisian atau kejaksaan.
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo pada Senin (27/2/2017) mengatakan, “Kalau KPK ingin menangani semua korupsi, tentu ada konsekuensinya, di mana KPK harus buat perwakilan di daerah itu, juga artinya mereka harus ambil alih peran yang dimainkan oleh penegak hukum lain,”
Adnan menambahkan, saat ini dalam beberapa hal publik sudah merasa ‘frustrasi’ karena keberadaan penegak hukum yang tidak maksimal dalam memberantas korupsi di daerah, terutama dalam penindakan. Bagian inilah menurut Adnan yang membuat masyarakat berharap kepada KPK.
Lebih lanjut Ia menuturkan, sekarang ini KPK sendiri tidak terlalu sanggup menghadapi berbagai tekanan sehingga mulai masuk ke ranah penindakan hukum lainnya. Ini berarti KPK menyetujui adanya revisi Undang-Undang (UU) KPK yang, dinilai Adnan, bisa dimanfaatkan untuk melemahkan fungsi KPK.
“Nah ini kan implikasinya berat dengan KPK karena kita tidak tahu apakah momentum adanya permintaan KPK justru dimanfaatkan sesuai kepentingan politik partai. Jangan-jangan apa yang diminta tidak diberi tapi justru undang-undangnya direvisi sesuai kemauan partai politik. Ini saya kira berbahaya, meminta kewenangan tambahan dengan konsekuensi merevisi UU KPK juga membuka peluang untuk upaya pelemahan terhadap KPK,” Terang Adnan.
Ia pun menyarankan KPK fokus terlebih dahulu terhadap apa yang sudah dicapai saat ini. Terutama, KPK harus mengevaluasi kasus-kasus korupsi yang sudah bergulir di pengadilan. “Pimpinan KPK mending fokus memperbaiki internal KPK dululah. Satu, misalnya, mengevaluasi kenapa ada kasus yang mulai dibebaskan, kemarin kan Bupati Rokan Hulu dibebaskan pengadilan,” Cetusnya.
Selain itu, kata Adnan, KPK juga harus lebih profesional, dalam arti penyelidik dan penyidik yang dipilih benar-benar independen, bukan berasal dari institusi penegak hukum lain. Ini untuk mencegah adanya dualisme.
Sejauh ini KPK juga cukup ‘kedodoran’ karena, menurut tren korupsi hasil kajian ICW pada 2016, ada lebih dari 1.000 tersangka korupsi yang separuhnya berasal dari aparatur sipil negara (ASN). Ini menjadi catatan penting bagi KPK yang masih sering kebobolan di sektor barang dan jasa.
“KPK harus lebih fokus jangan sampai janji-janji, nuntut ini-itu tapi ketika diberikan juga tidak berfungsi secara maksimal. Selama bisa memaksimalkan fungsi yang sekarang sudah cukup memadai kok untuk mengurangi korupsi kita,” tambahnya.
Adnan juga menyarankan KPK tidak berpikir menangani semua hal karena, menurut desainnya pun, KPK memang tidak diperuntukkan buat menangani semua hal. “Jadi fokus memperbaiki kelembagaan KPK saja dulu bagaimana korupsi kolusi diperbaiki,” Imbuhnya.