Penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak pernah menjadi isu krusial di kalangan praktisi hukum. Penyebabnya ada ketentuan Undang-Undang yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dan ada putusan pengadilan yang membatalkan kontrak karena tidak dibuat dalam bahasa Indonesia.
Ternyata, pengaturan tentang penggunaan bahasa Indonesia tak hanya ada dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Klausula senada ada dalam UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Pasal 22 ayat (6) UU No. 18 Tahun 1999 menyebutkan kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia, dan dalam hal kontrak kerja dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Jika dibandingkan dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009, ada perbedaan rumusan. Pertama, tak ada kata ‘wajib’ dalam UU Jasa Konstruksi.
Kedua, jika kontrak melibatkan pihak asing UU Jasa Konstruksi memperbolehkan (‘dapat’) kontrak dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Jadi dwibahasa. Sebaliknya, dalam UU Bahasa kontrak tersebut ‘ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris. Jadi, ada kemungkinan perjanjian dibuat dalam bahasa selain bahasa Inggris. Tentu saja, kontrak dalam bahasa Indonesia sesuatu yang ‘wajib’ sesuai Pasal 31 UU Bahasa.
Ketigamengenai sanksi. UU Jasa Konstruksi dan UU Bahasa tak mengatur secara tegas sanksi atas pelanggaran pasal penggunaan bahasa Indonesia. Ketentuan sanksi dalam UU Jasa tak secara spesifik menentukan sanksi untuk Pasal 22 ayat (6). Hanya, Pasal 41 menyebutkan penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administrasi dan/atau pidana atas pelanggaran undang-undang ini. Tetapi tak spesifik menyebut pelanggaran atas bahasa kontrak jasa konstruksi.
Persoalan yang menimpa kontrak lain menggunakan UU Bahasa sangat mungkin terjadi dalam kontrak jasa konstruksi jika salah satu pihak merasa dirugikan. Potensi itu selalu ada karena jasa konstruksi di Indonesia banyak melibatkan perusahaan asing. Jika kontrak jasa konstruksi tak menggunakan bahasa Indonesia, terutama setelah tahun 1999, ada kemungkin menjadi problem di kemudian hari.