Konsep ‘pelaku yang bersedia bekerjasama’ dengan aparat penegak hukum, Biasanya disebut justice collaborator, kemungkinan besar akan dimasukkan dalam revisi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli). Konsep ini memungkinkan pelaporan oleh pengusaha yang menjadi bagian dari pelaku persaingan usaha tidak sehat.
Kedudukan justice collaborator bisa membuat seseorang dituntut lebih ringan dibandingkan pelaku lain yang dilaporkan.
Anggota Komisi VI DPR, Azam Azman Natawijana, mengungkapkan salah satu klausul penting dalam revisi UU Antimonopoli adalah masuknya konsep justice collaborator. Dengan demikian, pelaku usaha yang mengaku melakukan kartel dan melapor ke KPPU akan mendapatkan manfaat hukum, misalnya dibebaskan dari tuduhan. “Ya, bisa dikatakan justice collaborator,” kata Azam.
Pemerintah dan DPR pada dasarnya sudah sepakat untuk melakukan revisi terhadap UU Antimonopoli. Sejumlah pihak sudah memberikan masukan, termasuk KPPU. Draf revisi memang masih ada di tangan Badan Legislasi DPR. Tetapi Azam yakin mengawali tahun 2017, draf RUU-nya akan dibahas intensif. “Targetnya, triwulan pertama revisi UU Antimonopoli selesai dibahas,” jelas politisi Partai Demokrat itu.
Kalangan pengusaha juga sudah memberikan masukan. Pada dasarnya ada kesepahaman untuk menguatkan peran KPPU dalam mencegah persaingan usaha tidak sehat. Sebaliknya, pengusaha berharap ada dewan pengawas KPPU jika komisi ini diberikan kewenangan besar.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf menyatakan pemberantasan kartel di Indonesia saat ini membutuhkan upaya yang keras. Selaku lembaga yang melakukan pengawasan terhadap persaingan usaha, kewenangan KPPU perlu diperkuat.
Beberapa klasul penguatan kewenangan KPPU sudah dimasukkan dalam direvisi UU Antimonopoli. Selain itu, pihaknya juga memberikan masukan untuk menekan tindakan atau praktik usaha yang tidak sehat. Jika dibandingkan dengan kewenangan saat ini, penguatan KPPU di dalam revisi UU Antimonopoli jauh lebih ‘tajam’.
Syarkawi mengakui kalangan pengusaha cenderung menilai UU Antimonopoli kurang adil bagi pelaku usaha. Tetapi persoalan yang muncul tak lepas dari minimnya kewenangan KPPU. “Kewenangan kami juga seperti macan ompong. Tanpa taring. Suaranya saja keras, padahal lemah,” kata Syarkawi di Jakarta.
Jika ada yang menilai bahwa revisi UU Antimonopoli hanya menjadi sumber disinsentif bagi perekonomian nasional, Syarkawi membantah. Justru, lanjutnya, penguatan KPPU akan memberikan kepastian hukum berusaha sehingga dapat meningkatkan iklim investasi di Indonesia, serta menciptakan efisiensi ekonomi dan produktivitas nasional.
Syarkawi berharap RUU Antimonopoli dapat menjaga keseimbangan kepentingan antara pelaku usaha dan konsumen, dan juga keseimbangan antara pelaku usaha, baik itu pelaku usaha besar, menengah serta kecil. Bahkan mayoritas pelaku usaha menginginkan penguatan lembaga KPPU mengingat pentingnya persaingan usaha tidak sehat bagi dunia bisnis.
Ia menjelaskan, kewenangan KPPU saat ini berupa pelaporan atau inisiasi perkara, penyelidikan, penuntutan, hingga pemutusan perkara merupakan hal yang berbeda dari perkara pidana yang dimiliki kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Selain itu, keputusan KPPU hanya berupa sanksi administratif atas pelanggaran persaingan usaha tidak sehat dari pelaku usaha. Apalagi, keputusan yang ditetapkan Majelis Komisi bisa diajukan keberatan lagi oleh pihak terlapor ke pengadilan, artinya bukanlah lembaga superbody.
Syarkawi juga menambahkan RUU Antimonopoli akan mengatur kewenangan penggeledahan agar bisa memperkuat penegakan hukum oleh KPPU.
Azam Azman mengamini bahwa kewenangan penggeledahan akan dimiliki KPPU dan dilaksanakan bersama-sama dengan kepolisian. Artinya, setiap penggeledahan harus melibatkan polisi?