Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai larangan jaksa mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) menuai kritik dari anggota Komisi Kejaksaan, Ferdinan Andi Lolo.
Menurut Ferdinan, jaksa merupakan representasi korban yang seharusnya mendapat hak konstitusional yang sama dengan pelaku. “Jaksa adalah representasi dari korban karena korban tidak dimungkinkan berhadapan dengan pelaku di pengadilan,” katanya dalam acara diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 18 Juni 2016.
Ferdinan menjelaskan, tugas jaksa adalah menuntut apa yang menjadi kepentingan korban. Sama halnya pelaku, yang berhak didampingi penasihat hukum untuk perkara pidana. “Yang berperan sebagai kuasa hukum korban adalah jaksa,” ujarnya.
Ferdinan meminta kewenangan mengajukan PK juga diberikan kepada pihak korban yang direpresentasikan oleh jaksa. “Kepentingan umum di sini harus adil di dua sisi. Jangan untuk pelaku saja yang didiskon,” ucapnya.
Senada dengan itu, pakar hukum Teuku Nasrullah berpendapat bahwa dalam hukum pidana, negara tidak diwakili perorangan. Jaksa, kata dia, seharusnya melindungi kepentingan umum, bukan melindungi korban. “Kalau jaksa representasi korban, apa ada surat kuasanya?”
Nasrul mengatakan, ketika jaksa ingin mengajukan PK, harus ada dasar hukum yang menjadi cantolannya. Dalam KUHAP Pasal 263 disebutkan bahwa PK hanya boleh dilakukan terpidana atau ahli waris. “Jika ngototmengajukan PK, artinya jaksa tidak menghormati undang-undang.”
Polemik ini muncul ketika Mahkamah Konstitusi memenangkan permohonan uji materi yang diajukan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali, Djoko Tjandra. Djoko divonis hukuman 2 tahun penjara di tingkat PK pada 2009.
Sebelumnya, hingga tingkat kasasi, Djoko dinyatakan tidak bersalah. Belum sempat dieksekusi Kejaksaan Agung, Djoko melarikan diri dan diduga berada di Papua Nugini.