Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain yang ditandatangani Presiden Joko Widodo merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 63 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perbendaharaan Negara.
Dalam PP ini diatur tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah atas uang, surat berharga, barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaan, pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain seperti pejabat negara, pejabat penyelenggara pemerintahan yang tidak berstatus pejabt negara, tidak termasuk bendahara dan pegawai negeri bukan bendahara.
“Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud berlaku pula terhadap uang danatau barang bukan milik negara/daerah yang berada dalam penguasaan pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan,” bunyi Pasal 2 ayat (2) PP sebagaimana dilansir dari laman resmi setkab.go.id.
PP ini menjelaskan, setiap pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara/daerah diwajibkan mengganti kerugian dimaksud. Informasi terjadinya kerugian tersebut bisa bersumber dari hasil pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsung, aparat pengawasan internal pemerintah, pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laporan tertulis yang bersangkutan, informasi tertulis dari masyarakat secara bertanggung jawab, perhitungan ex officio dan pelapor secara tertulis
Berdasarkan laporan hasil verifikasi tersebut, Pejabat Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah (PPKN/D) harus menyelesaikan kerugian negara/daerah dengan melaksanakan tuntutan ganti kerugian. PPKN/D itu antara lain, menteri/pimpinan lembaga, dalam hal kerugian negara dilakukan oleh pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain di lingkungan kementerian negara/lembaga.
Dalam hal kerugian negara dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga. Gubernur, bupati, atau walikota, dalam hal kerugian daerah dilakukan oleh pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain di lingkungan Pemerintahan Daerah.
Kewenangan PPKN/D untuk menyelesaikan kerugian negara/daerah, dilaksanakan oleh kepala satuan kerja untuk kerugian negara yang dilakukan oleh pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain di lingkungan kementerian negara/lembaga. Kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku bendahara umum daerah untuk kerugian daerah yang dilakukan oleh pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain di lingkungan pemda.
“Dalam hal kerugian negara dilakukan oleh kepala satuan kerja, kewenangan untuk menyelesaikan kerugian negara dilakukan oleh atasan kepala satuan kerja. Dalam hal kerugian daerah dilakukan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku bendahara umum daerah, kewenangan untuk menyelesaikan kerugian daerah dilakukan oleh gubernur, bupati atau walikota,” demikian bunyi Pasal 8 ayat (3,4) PP ini.
Dalam menyelesaikan ganti kerugian ini, PPKN/D atau pejabat yang diberi kewenangan dapat membentuk Tim Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah (TPKN/TPKD). Kemudian tim melakukan pemeriksaan paling lambat tujuh hari kerja setelah dibentuk. Selanjutnya, hasil pemeriksaan kerugian negara/daerah yang dilakukan oleh TPKN/TPKD disampaikan kepada orang yang diduga menyebabkan kerugian untuk dimintakan tanggapan.
“Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat, pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kerugian negara/daerah dan jumlah kerugian negara/daerah. Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud, paling sedikit memuat jumlah kekurangan uang/ surat berharga/ barang,” demikian bunyi Pasal 14 ayat (2,3) PP ini.
Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud disetujui oleh PPKN/D, maka PPKN/D segera menugaskan TPKN/TPKD untuk melakukan penuntutan penggantian kerugian negara/daerah kepada pihak yang merugikan. Penggantian tersebut segera dibayarkan secara tunai atau angsuran.
“Sedangkan pihak yang merugikan sebagaimana dimaksud berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penggantian kerugian negara/daerah beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris,” bunyi Pasal 16 ayat (2) PP ini.
Dalam hal kerugian negara/daerah sebagai akibat perbuatan melanggar hukum, menurut PP ini, pihak yang merugikan termasuk ahli warisnya wajib mengganti kerugian tersebutpaling lama 90 hari kalender sejak Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) ditandatangani. Sementara dalam hal kerugian terjadi akibat kelalaian, pihak yang merugikan termasuk ahli warisnya wajib mengganti kerugian dalam waktu paling lama 24 bulan sejak SKTJM ditandatangani.
“Dalam hal kondisi tertentu Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati atau Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat menetapkan jangka waktu selain sebagaimana,” bunyi Pasal 17 ayat (4) PP ini. (Baca Juga: Pemerintah Kesulitan Menguangkan Piutang Negara)
Sementara dalam hal pihak yang merugikan termasuk ahli warisnya tidak mengganti kerugian dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dinyatakan wanprestasi. Upaya penagihannya pun dialihkan kepada instansi yang menangani pengurusan piutang negara/daerah.
PP ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada 13 Oktober 2016 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.