Putusan pengadilan terhadap Dasep Ahmadi terdakwa perkara korupsi pengadaan mobil listrik membuat Jaksa penuntut mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Jaksa penuntut umum untuk perkara korupsi pengadaan mobil listrik, Victor Antonius, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan pengadilan terhadap Dasep Ahmadi selaku terdakwa. Dasep, sebagaimana diketahui, adalah pencipta mobil listrik dalam perkara itu.
“Sesuai akta, kami mengajukan kasasi sejak 16 Juni. Kemudian, menyampaikan memori kasasi pada tanggal 17 Juni,” ujar Victor Antonius kepadaTempo, Selasa, 21 Juni 2016.
Perkara korupsi mobil listrik berawal saat mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan menunjuk langsung Dasep Ahmadi sebagai pelaksana pengadaan 16 mobil listrik untuk keperluan Konferensi Ekonomi Asia Pasifik (APEC) 2012. Dahlan mengusulkan itu pada rapat kabinet yang dihadiri mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Agar tidak membenani negara, Dahlan menawarkan pendanaan proyek itu kepada sejumlah BUMN. Akhirnya ada tiga BUMN yaitu PT BRI, PT PGN, dan PT Pertamina yang siap merogoh kocek Rp32 miliar. Namun, dengan catatan, semua mobil listrik harus sudah siap sebelum pembukaan Konferensi APEC pada 1 Oktober 2013.
Dasep gagal memenuhi target tersebut. Saat APEC dibuka, ia baru mampu menyelesaikan 3 mobil. Ketika ke-16 mobil selesai dibuat, APEC sudah lama bubar. Ditambah temuan bahwa Dasep tak mengantongi sertifikat ahli, hak cipta, atau paten dalam pembuatan mobil listrik, Kejaksaan Agung melihat kegagalan Dasep tersebut sebagai sesuatu yang merugikan negara. Ia pun menjadi tersangka pada Juni 2015.
Pada bulan Maret 2016, Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat memvonis Dasep 7 tahun penjara dan ganti rugi Rp17,9 miliar. Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yaitu 12 tahun dan ganti rugi Rp32 miliar. Pengadilan Tinggi memberikan hasil yang senada. Walhasil, pekan lalu, Kejaksaan Agung mengajukan kasasi.
Victor menjelaskan bahwa pengajuan kasasi ini didasari berbagai hal. Pertama, hukuman tujuh tahun dan denda Rp17,9 miliar dirasa terlalu ringan bagi Dasep. Menurut ia, Dasep pantas mendapat hukuman penjara 12 tahun dan denda Rp32 miliar sesuai nilai proyek karena negara dianggap mengalami total loss.
Alasan kedua, karena Dahlan Iskan belum juga terseret ke perkara itu. Victor mengatakan, putusan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi juga menganulir keberadaan Pasal 55 UU Tipikor dalam perkara Dasep sehingga keberadaan Dahlan di perkara itu pun tidak diakui.
Padahal, kata Victor, tidak mungkin tidak ada keterlibatan pejabat negara dalam suatu perkara korupsi. Menurut Victor, pengadilan bersikap membela Dahlan Iskan dalam perkara ini.
“Alasan mereka hanya karena Dahlan tidak hadir ke persidangan. Padahal, kami sudah memamnggil yang bersangkutan tiga kali, namun tidak hadir dengan berbagai alasan. Kami minta Pengadilan untuk melakukan pemanggilan paksa, tidak dipenuhi tanpa alasan,” ujar Victor.
Victor berharap Mahkamah Agung memberikan hukuman yang lebih berat dan membuka pintu bagi Kejaksaan Agung untuk mengincar Dahlan Iskan.
Sebagai catatan, dalam putusan persidangan, Majelis Hakim menilai dakwaan jaksa yang menyebut nama Dahlan Iskan itu prematur. Sebabnya, karena proyek mobil listrik disepakati Dasep langsung dengan BUMN.
Kuasa hukum Dasep, Vidi Galenso Syarief, menganggap dibersihkannya nama Dahlan menguntungkan kliennya. Pertimbangannya hampir sama dengan Victor, tetapi dengan sudut pandang berbeda yaitu bagaimana mungkin orang swasta melakukan korupsi tanpa ada pejabat pemerintah yang terlibat.