Pemerintah dinilai minim dalam melakukan pengujian terhadap sebuah kebijakan yang akan dikeluarkan sehingga memunculkan kecurigaan adanya kedekatan dengan operator tertentu.
Anggota Masyarakat Telematika Indonesia Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengemukakan selama ini pembuat kebijakan dinilai terlalu dekat dengan operator telekomunikasi sehingga membuat gamang dalam menetapkan kebijakan.
“Pemerintah saat ini mencoba lebih demokratis dan mengakomodasi semua operator. Di sisi lain, memang harus didengarkan. Namun, pemerintah harus tegas dan cerdas. Jangan sungkan, karena ini memang kewenangan membuat regulasi. Jika pemerintah tegas, semua akan respect,” ujarnya.
Wigrantoro menambahkan selama ini pemerintah minim melakukan pengujian terhadap kebijakan dan lebih banyak melakukan pembenaran dari keinginan. “Inilah yang menimbulkan reaksi penolakan dari operator.”
Dia menjelaskan beberapa isu kebijakan telekomunikasi yang saat ini berkembang karena kurangnya ketegasan pemerintah. Wigrantoro pun menambahkan hal ini berlaku untuk melakukan efisiensi industri seluler.
Saat ini ada sekitar 10 operator seluler, dibutuhkan ketegasan pemerintah agar mendorong operator kecil melakukan konsolidasi. “Agar pasar seluler efisien, tujuh operator bisa didorong menggunakan pengaturan, ketegasan, kewenangan pemerintah yang mengarahkan investor agar melakukan merger. Pasar bisa dibentuk dengan kewenangan yang dimiliki oleh menteri,” tuturnya.
Seperti yang diketahui, hingga saat ini masih ada beberapa kebijakan yang terganjal implementasinya. Pertama, revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP 53/200 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Revisi dua kebijakan ini sekarang masih dalam tahap pembahasan di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Berbagai pihak telah mendesak agar revisi ini segera dirampungkan dengan tujuan efisiensi industri.
Langkah ini dinilai perlu untuk memberi kepastian bagi industri telekomunikasi ditengah pesatnya perkembangan teknologi informasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia dan perekonomian nasional.
Saat ini, implementasi biaya baru interkoneksi yang kembali memasuki tahap perhitungan ulang. Setelah ditunda tiga bulan, regulasi ini kembali harus ditunda karena belum adanya kesepakatan antar operator telekomunikasi.
Penundaan ini diumumkan dalam surat tertanggal 2 November 2016 terkait Penyampaian Penetapan Perubahan DPI Milik Telkom dan Telkomsel Tahun 2016 dan Implementasi Biaya Interkoneksi.
Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Achmad M Ramli mengungkapkan perhitungan awal tidak ada kesepakatan.
“Tidak ada kesepakatan antar operator. Ada yang setuju Rp204/menit, ada yang mau lain. Ada yang mau simentris, ada yang mau asimetri. Sehingga, akan dilakukan perhitungan ulang,” ujarnya Kamis (3/11).
Ramli menjelaskan nantinya perhitungan akan diberikan kepada konsultan untuk dihitung agar menghasilkan besaran biaya yang paling pas dengan skema yang tepat.
“Saat ini dibutuhkan ketegasan dari pemerintah dan kedewasaan para eksekutif operator,” ujar Mas Wigrantoro.