Pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar B. Laksmana, mengingatkan agar berhati-hati menggunakan kata ‘menuduh’, ‘memfitnah’, atau ‘menghina’. Apalagi jika yang menyampaikannya adalah aparat penegak hukum. Dalam konstruksi hukum, ketiga lema tadi mempunyai makna yang berbeda.
Gandjar mengingatkan hal itu terkait dengan langkah kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mabes TNI, melaporkan Koordinator Kontras, Haris Azhar. Haris dilaporkan karena testimoni kasus Freddy Budiman yang dia buat dan ungkap ke publik. Informasi Freddy sebenarnya sudah sejak 2014, tetapi baru menghebohkan belakangan, setelah Freddy dieksekusi mati.
Berbicara dalam konperensi pers di Jakarta, Senin (08/8), Gandjar menegaskan ketiga kata tadi memiliki arti dan cakupan yang berbeda. Lema ‘menuduh’ tak masuk kategoti tindak pidana karena menuduh itu berarti tak tahu siapa pelaku kejahatan yang sesungguhnya. Sebaliknya, lema ‘memfitnah’ dan ‘menghina’ termasuk kategori pidana (KUHP). ‘Memfitnah’ terjadi saat seseorang mengetahui siapa pelaku kejahatan tapi menuduh orang lain sebagai pelakunya dengan tujuan menjelekkan orang tersebut. Perbuatan ‘menghina’ ditujukan secara sengaja menyerang nama baik seseorang.
Mengingat penilaian terhadap ketiga perbuatan itu sifatnya subjektif maka dalam hukum pidana delik penghinaan masuk sebagai delik aduan. “Hanya orang yang dihina yang boleh mengadu dan melapor, tidak bisa diwakili,” kata Gandjar dalam diskusi di Jakarta, Senin (08/8).
Kata-kata yang bisa dinilai sebagai penghinaan menurut Gandjar harus denotative, bukan konotatif. Melihat pernyataan yang disampaikan Haris Azhar di media terkait pengakuan Freddy Budiman, menurut Gandjar, perlu dilihat lebih jauh apakah pernyataan itu sifatnya menyerang atau tidak.
Melihat yurisprudensi beberapa kasus terkait penghinaan, pernyataan yang disampaikan biasanya memuat kepentingan atau tujuan yang mau dicapai. Namun, Gandjar mengingatkan ada pengecualian yaitu terkait kepentingan umum. “Kalau itu dilakukan demi kepentingan umum, tidak ada pencemaran dan penghinaan nama baik,” ujarnya.
Secara umum Gandjar menilai pelaporan terhadap pernyataan Hariz Azhar terkait pengakuan Freddy Budiman itu tidak tepat. Mestinya, beberapa lembaga negara yang melakukan pelaporan itu meminta keterangan Harris soal informasi yang dibeberkannya itu kepada publik. Proses itu bisa dilakukan secara baik-baik tanpa melalui proses peradilan pidana. “Dengan menelusuri informasi dari Harris ini justru akan membuka apakah ada masalah hukum yang harus ditindaklanjuti,” urainya.
Langkah prematur
Advokat sekaligus pegiat HAM, Todung Mulya Lubis, melihat Haris Azhar sebagai pengacara kepentingan publik. Oleh karenanya Harris banyak mengadvokasi dan mengangkat isu yang berkaitan dengan kepentingan publik. Dalam kode etik advokat Indonesia, dijelaskan diantaranya advokat publik itu mengutamakan tegaknya kebenaran dan keadilan, tidak semata-mata mencari imbalan, bekerja dengan independen memperjuangkan hukum dan HAM.
“Saya menyesalkan kalau sedini ini sudah ada yang membuat laporan dan kemungkinan mengkriminalkan Haris Azhar, menurut saya ini langkah yang prematur dilakukan aparat,” tukas Todung
Todung mengusulkan pemerintah membentuk tim independen untuk melakukan investigasi bisnis narkotika di Indonesia. Itu selaras dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dan BNN yang menyebut Indonesia darurat narkoba. Apalagi selama ini ada tudingan antara pengedar narkotika, bandar dan aparat saling bekerjasama. Setelah tim itu dibentuk Presiden harus menegaskan kepada lembaga terkait untuk kooperatif membantu kerja-kerja tim.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Asfinawati, menilai pernyataan Haris Azhar soal pengakuan Freddy Budiman itu merupakan kebebasan berpendapat. UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Hak Sipil dan Politik) telah mengamanatkan bahwa kebebasan berpendapat tidak bisa dikurangi oleh hal apapun kecuali untuk menghormati hak atau nama baik orang lain