Kalangan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menolak keras adanya pungutan liar alias pungli yang hampir sehari-hari mereka dapati. Senada dengan itu, Presiden Joko Widodo telah membentuk tim Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) yakni sebuah tim yang akan memberantas segala macam pungli yang merugikan masyarakat.
“Dari awal sampai sekarang jadi PPAT, saya masih terus dimintai biaya tambahan yang tidak resmi,” ujar Notaris dan PPAT Kabupatan Serang, Fitra Deni.
Fitra mengungkapkan bahwa praktik pungli tidak boleh terus dimaklumi. Menurutnya, upaya yang dilakukan Presiden Jokowi mesti menjadi momentum khususnya rekan PPAT untuk bersama-sama melawan praktik yang tidak benar itu. Ia mendorong, PP IPPAT bersama dengan Kementerian ATR/BPN mesti sama-sama berkomitmen untuk tidak meminta dan mau memberi pungli di luar PNBP.
“IPPAT akan coba tindaklanjuti supaya bisa koordinasi dengan BPN. Ini dampaknya bukan hanya soal high cost, tapi berdampak kepada pembangunan itu sendiri. Kalau masyarakat dan pelaku usaha yang mau buka usaha di daerah kemudian biaya sertifikat butuh biaya tinggi dan waktu lama, membuat pembangunan juga tidak lancar. Dampaknya pengusaha tunggu waktu, itu tidak efektif,” papar Fitra yang juga Wakil Ketua Pengda IPPAT Kabupaten Serang itu.
Sementara itu, Ketua Umum PP IPPAT, Syafran Sofyan mengimbau agar rekan-rekan PPAT berhati-hati terkait dengan pungli. Kata Syafran, PPAT sebaiknya tidak lagi membayar biaya-biaya tidak resmi meskipun itu dimintakan oleh oknum pegawai suatu lembaga. Sebab, meskipun pemberian uang itu dilakukan misalnya oleh karyawan kantor PPAT, tetap saja PPAT akan dianggap menjadi aktor utama yang menyuruh orang lain melakukan perbuatan seperti itu. Penyuruh, pemberi, dan penerima sama-sama berpotensi terkena tindak pidana.
“Kita jangan beri pungli, jangan mau beri. Ini sangat bahaya kalau nanti ditindak,” ujar Syafran.
Sementara, terkait dengan biaya tidak resmi itu, PP IPPAT sempat berbincang langsung dengan Menteri ATR/BPN. Sebaliknya, Menteri balik bertanya mana bukti yang bisa menguatkan pernyataan itu. Oleh karenanya, Syafran mendorong agar rekan-rekan PPAT yang dimintai pungli melaporkan kepada PP IPPAT secara tertulis. Nantinya, laporan tertulis tersebut akan dijadikan bukti dan disampaikan kepada Menteri ATR/BPN.
Selain itu, Syafran juga usul agar nantinya dibuat semacam mekanisme pengawasan dan penindakan terhadap anggota IPPAT. Teknisnya, orang-orang yang direkrut PP IPPAT akan berada kantor pertanahan di seluruh Provinsi se-Indonesia. mengenai usul itu, Syafran mengatakan akan melakukan pembicaraan dengan Kementerian ATR/BPN dalam waktu yang tidak lama lagi. (Baca Juga: Ketika Anda Temui Pungli Oknum PNS, Segera Gunakan Aplikasi Lapor)
“Tolong dilaporkan secara tertulis. Karena kalau lisan itu tidak ada data. Kita ingin clean and good governance,” tutup Syafran.
Bantah
Di tempat yang sama, perwakilan dari Kanwil BPN Banten, Hasanudin mengaku tak mengetahui mengenai biaya tidak resmi atau istilahnya ‘biaya paket’ atau ‘biaya taktis’ yang selama ini menjadi biaya tambahan yang mesti dibayarkan oleh pemohon termasuk PPAT. Sebab, sebagaimana pesan Kepala Kanwil BPN Banten, seluruh layanan yang diberikan tentu mengacu pada tarif PNBP yang berlaku di lingkungan Kementerian ATR/BPN.
“Kalau tidak mau bayar oknum, layangkan surat ke Kanwil. Pengaduan harus jelas supaya tidak fitnah,” katanya.
Lebih lanjut, bila memang praktik pungli seperti permintaan biaya paket atau semacam masih terjadi, ia akan segera menindaklanjuti informasi tersebut ke Ketua Kanwil. Pasalnya, selama ini BPN dalam memberikan layanan selalu berpedoman kepada standar prosedur (SOP) yang berlaku. Bisa jadi, ada syarat-syarat dokumen yang belum dilengkapi oleh PPAT sehingga praktek ini akhirnya terjadi.
“Nanti kita tindaklanjuti, kami tidak mau kena OTT apalagi kemarin di Kemenhub kejadian. Hati-hati jangan vulgar,” singkatnya.