Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat adanya korelasi yang kuat antara korupsi dengan kerusakan hutan. Salah satu faktor tingginya kerusakan hutan akibat praktik korupsi yang terjadi di lingkungan birokrasi maupun dalam proses penegakan hukum. Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas menemukan bahwa setidaknya terdapat sejumlah temuan yang menambah panjang permasalahan di sektor kehutanan.
Pertama, persoalan data. Kata Ilyas, hal ini merupakan persoalan klasik yang dari waktu ke waktu belum ditemukan jalan keluarnya. Dalam kasus kehutanan, ternyata antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan institusi lain tidak memiliki data yang sama mengenai jumlah penerimaan negara dari kehutanan.
Ilyas mencontohkan misalnya, simpang siur terkait data produksi kayu, asal, dan jenis kayu pada instansi kehutanan pusat dan daerah maupun antar instansi membuat sulitnya menemukan indikator dalam memperkirakan penerimaan negara dari kehutanan. Hal tersebut tentu berdampak pada PNBP yang diterima tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
“Bagaimana nanti PNBP di Kemenkeu, berapa ketemunya,” katanya Ilyas dalam Seminar Nasional “Lestarikan Hutan, Jangan Lestarikan Korupsi” di Jakarta, Kamis (25/8).
Kedua, permasalahan yang terjadi adalah soal pengawasan. Memang, telah ada mekanisme pengawasan yang dimiliki KLHK secara online. Akan tetapi, ternyata saat dilakukan telaah mendalam tak semua data terekam mengenai penerimaan negara. KLHK dalam Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH), Sistem Informasi Manajemen PNBP Hutan Produksi (SIPNBP), dan Rencana dan Realisasi Pemenuhan Bahan Baku Industri Primes Hasil Hasil Hutan Kayu (RPBI) berpotensi adanya perbedaan data dan angka.
“Selain itu ketaatan perusahaan masih rendah yang melaporkan data SIPUHH secara online,” katanya.
Di tempat yang sama, Anggota BPK, Akhsanul Khaq menyatakan bahwa data sangat penting bagi BPK untuk melakukan audit keuangan. Tanpa data yang akurat, ia tak yakin hasil audit yang dilakukan akan bisa menggambarkan keadaan yang sebenar-benarnya. Sehingga, ia berharap permasalahan sulitnya mengakses data bisa segera diselesaikan. Tak cuma keterbukaan data, ia meminta agar one data (data tunggal) segera dikoordinasikan antara kementerian atau instansi terkait.
“Tapi ini perlu juga diatur siapa yang bisa akses data. Misal untuk kepentingan audit, BPK diberi akses lebih mudah dan mendalam,” katanya.
Penegakan Hukum
Pakar Kehutanan yang juga Guru Besar IPB, Hariadi Kartodihardjo, menyatakan bahwa penegakan hukum mesti tahu karakteristik aspek lingkungan hidup ketika menangani perkara di pengadilan yang berkaitan dengan kehutanan. Bayangkan, ia mencatat pihak KLHK telah menelan 14 kali kekalahan di pengadilan. Menurutnya, hal itu tak boleh lagi terulang dikemudian hari.
“Kita sudah 14 kali kalah di pengadilan,” kata Hari.
Ia menambahkan, sebetulnya ada satu kisah sukses kemenangan KLHK, salah satunya saat melawan PT National Sago Prima (NSP). Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Agustus 2016 kemarin dalam putusannya menyatakan menghukum PT NSP membayar ganti rugi Rp319 miliar dan biaya pemulihan Rp753 miliar. Artinya, PT NSP harus membayar total kerugian hingga Rp1,07 triliun ditambah harus membayar uang paksa Rp 50 juta per hari
Namun, Hari berpendapat bahwa KLHK mesti tetap waspada mengenai adanya pernyataan melakukan banding dari kuasa hukum PT NSP, Rofiq Sungkar. Berkenaan dengan hal itu, ia mengusulkan agar KPK bisa membantu pihak KLHK untuk mengawal proses upaya hukum yang akan dijalani ke depan. Tujuannya, agar proses demi proses saat upaya hukum bisa terhindar dari segala bentuk potensi tindakan korupsi peradilan (judicial corruption). “Tanpa itu ngga bisa, KPK harus mengawal itu,” sebutnya.
Sementara itu, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW, Emerson Yuntho mengatakan bahwa gagasan pengawalan yang diusulkan Hariadi mesti diimplementasikan. Pasalnya, dimensi uang yang besar dalam perkara PT NSP tak bisa sembarang dan membiarkan KLHK beserta tim hukum meladeni pihak lawan. Sependapat dengan Hariadi, menurutnya, KPK wajib mengawal sebagai bentuk pencegahan terhadap potensi adanya praktik peradilan yang benar. “Kasus PT NSP itu mesti dikawal,” tegasnya.
Menurutnya, ke depan, KPK bisa menggunakan pendekatan yang berbeda saat menangani kasus korupsi kehutanan, yakni pendekatan multi door. Maksudnya, KPK menjerat pelaku korupsi dengan sejumlah undang-undang sekaligus seperti UU Pencucian Uang. Mengkombinasikan perkara dengan TPPU selain mempermudah pembuktian juga berdampak pada pemberatan hukuman bagi pelaku termasuk merampas dan menyita harta hasil korupsi sebagai upaya memiskinan koruptor. “Harapan di kasus bisa dijerat dengan TPPU dan pasal berlapis lainnya,” tutupnya.
Selain itu, ICW mendorong agar KPK bisa menjerat pelaku korupsi dari korporasi di sektor kehutanan. Catatan ICW, nilai rente dalam kejahatan ini tergolong tak sedikit. Sebut saja perkara korupsi korporasi di sektor kehutanan Riau yang menyita perhatian khususnya Koalisi Masyarakat Sipil. Dari fakta persidangan dalam perkara yang diduga melibatkan sejumlah kepala daerah dan mantan pejabat Dinas Kehutanan Riau, mereka dituding memperkaya 20 perusahaan dengan nilai Rp1,3 triliun dan kerugian negara sebesar Rp1,7 triliun.
Fakta lain juga menunjukkan bahwa sejumlah petinggi perusahaan juga melakukan suap kepada Kepala Daerah dan pejabat Dinas demi kelancaran beroperasinya perusahaan. Meski telah dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Ternyata, ICW melihat perusahaan tersebut masih terus beroperasi dan tidak diproses secara hukum. Padahal UU Tipikor memungkinkan adanya proses hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. “Ini yang kita dorong ke KPK untuk jerat korporasi,” katanya.