Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku prihatin melihat data perpajakan dari profesi-profesi hukum, salah satunya notaris karena dilihat dari lima tahun ke belakang, indikasi laporan atas pajak profesi notaris hanya sekitar 35 persen. Tetapi, tiap tahun trennya semakin menurun yakni dari 39 persen menjadi 30 persen.
Jika melihat data WP Notaris yang mengikuti program pengampunan pajak, yang sudah mengikuti pengampunan pajak baru 22 persen saja. Sebanyak 3.187 notaris dari 11.314 notaris yang memiliki NPWP teridentifikasi sudah mengikuti pengampunan pajak. Notaris di area kerja DKI Jakarta paling banyak mengikuti tax amnesty, dan range pembayaran tebusannya paling kecil Rp60 ribu sampai Rp4,5 miliar.
Terkait hal itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI), Yualita Widyadhari, didampingi Sekretaris Umum dan 8 orang pengurus lainnya menyampaikan berbagai masukan kepada Sri Mulyani.
Pertama, PP-INI sangat mendukung program Tax Amnesty dan telah menghimbau seluruh anggotanya untuk dapat memanfaatkan program tersebut. Sehubungan dengan pernyataan Menteri Keuangan mengenai potensi Tax Amnesty terhadap Profesi yang terbit di media massa, PP-lNI menjelaskan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum dan berbeda dengan profesi bidang hukum lainnya, di mana honorarium Notaris telah diatur oleh undang-undang.
Dijelaskan pula bahwa pada kondisi saat ini, tidak sedikit Notaris yang kesulitan mendapatkan klien dan akhirnya menutup kantor. “Oleh karena itu, penempatan Notaris sebagai target potensi Tax Amnesty yang jauh lebih tinggi dari Pengacara atau profesi lainnya adalah tidak tepat,” kata Yualita
Namun untuk membantu kelancaran Tax Amnesty, kata Yualita, PP-INI mengusulkan kepada Menkeu, agar meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menetapkan Akta Penyerahan Hak atas Tanah dan atau Bangunan yang dibuat Notaris untuk dapat diterima oleh seluruh Kantor Pertanahan sebagai dasar perubahan data dalam sertifikat sehubungan dengan penyelesaian peralihan hak atas tanah dan atau bangunan karena pemanfaatan Tax Amnesty.
Kedua, PP-INI memahami dasar penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No.11 Tahun 2014 tentang Pungutan Otoritas Jasa Keuangan, namun PP-INI meminta agar dilakukan perubahan atas PP tersebut karena kurang tepat apabila pungutan tersebut dibebankan kepada seluruh Notaris yang telah terdaftar di Pasar Modal, namun tidak membuat Akta Pasar Modal. “Seyogyanya, pungutan hanya diberikan kepada Notaris pembuat Akta Pasar Modal dengan besaran proporsional,” ujar Yualita.
Ketiga, Sehubungan telah berlakunya PP No.34 Tahun 2016 tentang Paiak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli, atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya, PP-INI mengusulkan agar proses penelitian Surat Setoran Pajak atas Pajak Penghasilan dapat dipermudah dan dipercepat oleh Kantor Pelayanan Pajak dan meminta kepada Direktur Jenderal Pajak menerbitkan edaran kepada seluruh petugas di Kantor Pelayanan Pajak untuk memberikan standar pelayanan termasuk persyaratan dokumen yanEi sama dalam proses penelitian tersebut.
Keempat, PP-INI meminta agar Surat Edaran No.20 Tahun 2015 tentang Pemberian Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan Karena Warisan, yang mencantumkan syarat bahwa SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan hanya diberikan apabila tanah dan/atau bangunan yang menjadi obyek pewarisan telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Pewaris dicabut karena bertentangan dengan Pasal 4 ayat 3 UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008.
Kelima, PP-lNI menyampaikan pernyataan sikap terhadap Pemberantasan Pungli dan mendukung sepenuhnya kebijakan Pemerintah terhadap hal tersebut. “Namun PP-INI meminta diterbitkan kebijakan-kebijakan yang tepat dan juga melindungi Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai Pejabat Umum,” pungkas Yualita.