Revisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) telah disetujui oleh DPR menjadi UU pada pekan lalu. Namun, bagi sebagian pegiat kebebasan berekspresi, UU ITE hasil revisi mengarah ke perubahan yang setengah hati. Setidaknya, aturan dalam UU ITE hasil revisi lebih memberikan kewenangan baru bagi pemerintah.
Ketua Badan Harian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, dari awal menolak keras beberapa ketentuan dalam revisi UU ITE. Ia memiliki beberapa alasan. Pertama, pemerintah mestinya mencabut ketentuan Pasal 27 ayat (3), bukan sebaliknya hanya mengurangi ancaman hukuman. Argumentasi pemerintah dinilai Anggara terbilang lemah.
Argumentasi mengurangi multitafsir serta menghindari penyalahgunaan kewenangan terhadap ketentuan larangan ‘mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE dilakukan dengan empat perubahan.
Yakni, menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Kemudian, menegaskan ketentuan tersebut adalah delik aduan, bukan delik umum. Tak hanya itu, argumentasi lainnya ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP serta menurunkan ancaman pidana dari maksimal 6 (enam) tahun penjara dan denda Rp1 miliar menjadi 4 (empat) tahun dan denda Rp750 juta.
Terhadap hal tersebut, norma dan praktik perubahan tersebut masih berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. Tak hanya itu, terdapat permasalahan duplikasi tindak pidana. Ia menilai bakal muncul permasalahan baru, yakni pasal-pasal pidana tersebut terbukti masih bersifat karet, multi intrepretasi dan gampang disalahgunakan.
Kemudian, dengan mengurangi ancaman hukuman ternyata tidak menjawab akar masalah. Pasalnya, dalam praktik di lapangan, aparat penegak hukum kerap menggunakan tuduhan ganda, yakni pasal berlapis sehingga ancaman pidana yang ada dapat menahan sesorang yang dilaporkan atas pasal 27 ayat (3).
Kedua, perubahan hukum acara pidana dalam UU ITE memberikan keluasan kewenangan diskresi bagi aparat penegak hukum tanpa melalui pengadilan. Pemerintah telah melakukan sinkronisasi terhadap ketentuan hukum acara dengan KUHAP, khususnya Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 43 ayat (6). Yakni terkait dengan penggeledahandan/atau penyitaan semual harus mengantongi izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, serta penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
ICJR, kata Anggara, mengecam proses kemunduran ‘fair trial’ dalam ketentuan penangakapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revusi UU ITE. Menurutnya, aturan penangakan dan penahanan tertuang dalam Pasal 43 ayat (6) KUHAP menunjukan kemajuan dalam menselaraskan ketentuan hukum nasional dengan kewajiban Internasional Indonesia. “Dengan menghilangkan ijin dari Ketua Pengadilan, maka upaya paksa akan menjadi diskresi aparat penegak hukum,” ujarnya di Jakarta, Senin (31/10).
Ketiga, terkait pemindanaan cyber bullying berpotensi jauh lebih buruk ketimbang Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Menurutnya kebijakan kriminalisasi yang memasukan cyber bullying berpotensi menimbulkan overkriminalisasi. Ia menilai UU ITE hasil revisi melompat jauh. Sebabnya, Indonesia belum memiliki definisi hukum baku terkait dengan perundungan (bullying) di dunia nyata. Sebaliknya, UU ITE memaksa memberikan pengertian baku perundungan di dunia maya.
Karena tidak adanya definisi baku, maka rumusan yang digunakan bersifat lentur. Sehingga dapat menimbulkan penafsiran. Dengan kondisi seperti itulah tindak piana tersebut dapat disalahgunakan dalam penegakannya. Atas dasar itulah masih terbuka celah memberangus kebebasan berekspresi di dunia maya.
“Dengan masuknya tindak pidana baru ini disertai ketentuan Pasal 27 ayat (3) tentang defamasi dunia maya ini maka jelaslah bahwa Revisi UU ITE ke depan, masih berpotensi mengancam kebebasan ekspresi di Indonesia,” katanya.
Kepala Divisi Riset dan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Asep Komarudin, menambahkan poin keempat, yakni memfilter konten dan bloking konten. UU ITE diniai menambah kewenangan pemerintah tanpa mengatur mengenai kewajiban dan prosedur memadai. Menurutnya, pemerintah menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40. Ia menilai prosedur pemutusan akses yang miniam serta indikator yang tidak memadai terhadap konten bermuatan ‘yang dilarang’ bakal mengakibatkan kewenangan yang eksesif. Sehingga mudah disalahgunakan pemerintah.
Kelima, pemberitaan negatf terhadap seseoran di masa lalu. Pasal tersebut merupaka usul Komisi I DPR. Alasan usulan tersebut lantaran beberapa negara eroopa telah memberlakukan aturan tersebut. Usulan tersebut pun diamine pemerintah. Aturan dalam UU ITE teranyar mengatur upaya seseorang mengapus pemberitaan negatif dirinya di masa lalu hanya dapat dilakukan setelah mendapat penetapan dari pengadilan.
Kemudian, menambahkan ketentuan “the right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26. Menurut Asep, pasal tersebut menjadi persoalan baru. Sebab, ketetuan itu dapat menjadi alat ganda bagi pemerintah selain kewenangan penyaringan konten. Setidaknya, ketentuan tersebut dapat berdampak negatif. Sebab dapat menjadi alat baru dalam melakukan sensor terhadap berita, publikasi media dan jurnalis di masa lalu.
“Praktik di Eropa, the right to be forgotten masih menjadi perdebatan serius meski implementasinya hanya terhadap mesin pencari (search engine) dan tidak termasuk situs ataupun aplikasi tertentu,” pungkasnya.