Hukum acara pemidanaan terhadap perusahaan atau korporasi yang saat ini masih diproses Mahkamah Agung (MA) nantinya berlaku bagi perusahaan yang termasuk Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
“Tidak hanya perusahaan swasta, tapi juga BUMN dan BUMD, karena apa? Bagi kami, BUMN-BUMD itu meskipun 100 persen sahamnya dipimpin oleh negara, dia juga harus bertanggung jawab juga saat melakukan kesalahan,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung KPK Jakarta
Kemungkinan, perusahaan plat merah juga bisa melakukan aksi suap, misalnya bekerja sama dengan pihak swasta untuk menggelembungkan anggaran (mark up) sebuah proyek. Alex pun berharap hukum acara pemidanaan korporasi bisa selesai akhir tahun sehingga bisa memproses perusahaan yang menjadi pelaku pidana korupsi.
Aturan hukum pidana yang saat ini masih digodok dalam bentuk Peraturan MA (Perma) untuk menjerat korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi ini dinilai memiliki dampak efek jera yang lebih besar.
Menurut dia, sejauh ini penanganan perkara korupsi yang melibatkan perusahaan, hanya mempidanakan pelakunya saja, seperti komisaris atau direktur perusahaan. “Yang jelas dampaknya itu jika korporasi jadi dipidanakan, itu akan ada efek jera yang lebih besar karena kita tidak hanya memproses pemberi suapnya atau pengurus perusahaanya, tetapi juga menerapkan denda terhadap korporasinya,” ujar Alex.
Tidak hanya itu, KPK juga sedang mengkaji besaran denda yang akan dijatuhkan terhadap perusahaan yang terlibat korupsi karena mungkin saja denda tersebut lebih besar dari kerugian yang ditimbulkan tindak pidana korupsi.
KPK mencatat 146 pelaku korupsi berasal dari sektor swasta. Setidaknya 80 persen ke atas korupsi di Indonesia melibatkan dunia usaha, khususnya swasta dan 90 persen korupsi di daerah melibatkan pengadaan barang dan jasa. (Baca Juga: Pasal Kejahatan Ideologi Tetap Dipertahankan dalam Revisi KUHP)
Sayangnya, aparat penegak hukum jarang sekali menggunakan instrumen yang tersedia dalam UU tipikor untuk menjerat pelaku korupsi korporasi. Salah satu alasan yang pernah disampaikan pimpinan KPK terdahulu adalah sulitnya merumuskan bagaimana tanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Terlebih lagi, belum ada aturan pelaksanaan mengenai acara persidangan bagi pelaku korupsi korporasi. Untuk menyiasati kekurangan itu, KPK dan Kejaksaan pernah mencoba menuntut korporasi turut serta membayar kerugian negara, tetapi kerap gagal karena hakim menganggap korporasi dimaksud tidak dijadikan sebagai terdakwa.