Pengurus Pusat Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP IPPAT) mencatat, 137 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) masuk penjara. Mayoritasnya, karena sedang menjalankan tugas dan jabatannya sebagai PPAT. Ketua Umum IPPAT, Syafran Sofyan mencatat, setidaknya terdapat tiga potensi masalah yang mudah menjerat PPAT dan notaris untuk diperkarakan baik secara perdata, administrasi, ataupun pidana.
Pertama, potensi yang bermula dari penggunaan akta. Kedua, potensi yang memang murni karena kurang cermatnya PPAT dalam membuat akta. Ketiga, karena tidak ada yang berhubungan dengan akta atau semacam bentuk ‘kriminalisasi’
Sebagai contoh misalnya, kasus yang memang murni karena kesalahan notaris terjadi di Kalimantan Barat. Oknum notaris tersebut menjadi terdakwa dalam kasus pemalsuan tandatangan sertifikat tanah yang sebetulnya menjadi hak milik seseorang berinisial ‘S’. Namun tandatangan itu dipalsukan atas nama orang lain.
Kasus tersebut terjadi pada 2013 silam. Saat ini masih masuk pada agenda tuntutan oleh jaksa yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sambas. Selain itu, kasus lain yang juga menjerat oknum notaris lantaran kekeliruan dalam menjalankan tugas dan jabatannya terjadi di Aceh. Kasus itu bermula ketika Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Aceh memeriksa notaris atas seorang tersangka penggelapan pajak PPN dan PPh di Bireun.
Saat pemeriksaan, notaris terindikasi membantu oknum Bendaharawan Umum Daerah (BUD) Bireun dalam menggelapkan pajak dengan modus penandatangan akta lebih dulu sebelum pajak disetorkan ke kas negera, yakni tanggal akta pada Maret tetapi pajak dibayar satu bAlan kemudian. Padahal pajak disetorkan terlebih dahulu baru akta ditandatangani.
Catatan Syafran lainnya, setidaknya ada sejumlah pasal yang seringkali digunakan oleh pihak penyidik Polri untuk menjerat PPAT dalam kasus pidana terkait jabatan. Pertama, Pasal 263 ayat (1) KUHP. Modus yang biasanya berkaitan dengan pasal tersebut adalah pemalsuan surat, misalnya Surat Setoran Bea (SSB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Surat Setoran Pajak (SSP).
Salah satu kasus yang telah diputus oleh Mahkamah Agung (MA) adalah kasus yang menjerat notaris/PPAT berinisial AG. Lewat putusan MA Nomor: 303K/PID/2004, AG terbukti melakukan rangkaian tindak pidana memalsukan surat yang diperuntukan sebagai bukti daripada suatu hal.
Kedua, Pasal 266 ayat (1) KUHP. Secara umum, pasal tersebut mengatur bahwa barangsiapa yang menyuruh memasukan keterangan palsu dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta dan dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran diancam jika pemakaian itu dapat timbulkan kerugian dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Terkait pasal ini, salah satu notaris/PPAT berinisial SS, telah diputus bersalah berdasarkan putusan MA Nomor: 1099K/PID/2010.
Ketiga, Pasal 64 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 264 ayat (1) KUHP, Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Kasus ini tengah berjalan dan diperiksa oleh pihak Bareskrim Mabes Polri atas salah seorang notaris/PPAT berinisial SD di kota Bogor. Sejauh ini, notaris yang bersangkutan terancam dengan tiga undang-undang tersebut saat menjalankan tugas dan kewajibannya selaku notaris/PPAT.
Keempat, Pasal 242 KUHP. Notaris/PPAT di Jawa Timur diduga memberikan keterangan palsu di atas sumpah dalam suatu persidangan pidana. Sebagaimana diketahui, pasal tersebut berbunyi ‘Barangsiapa dalam keadaan dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu diatas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan secara pribadi ataupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun’.
Kelima, Pasal 372 ayat (1) KUHP. Pasal tersebut secara umum mengatur bahwa barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain yang ada dalam kuasanya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak Rp900 rupiah. Sebagai contoh, seorang notaris/PPAT menggelapkkan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dibayarkan oleh klien.
Mesti diingat, kata Syafran, PPAT dapat diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana diatur Pasal 28 ayat (2) huruf b Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah apabila PPAT dijatuhi hukuman kurungan atau penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam hukuman kurungan atau penjara lima tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sebetulnya, problem yang menghantui PPAT bermula pada keadaan belum adanya persamaan persepsi antara penegak hukum. Mulai dari polisi, jaksa, hakim, bahkan advokat mengenai bagaimana sebetulnya profesi PPAT bertugas. Tapi yang sering terjadi, PPAT dianggap sebagai pihak dalam akta yang dibuatnya sehingga seringkali dijadikan turut pihak yang diperkarakan. Padahal, suatu akta baik akta notaris atau PPAT tidak menjamin pihak penghadap berkata benar akan tetapi yang dapat dijamin dalam setiap akta adalah pihak-pihak benar berkata seperti apa yang termuat dalam akta.
Tak cuma itu, penegak hukum juga seringkali menganggap bahwa pencantuman nama dan tanda tangan notaris atau PPAT dalam akta sering ditafsir sebagai para pihak dalam perikatan tersebut. Akibatnya, notaris dan PPAT sering diposisikan sebagai tergugat, turut tergugat, saksi, tersangka, dan bahkan sebagai terdakwa. Hal itu kian diperparah saat proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dimana banyak ahli dalam memberikan keterangan tidak memahami kewenangan PPAT membuat akta otentik.
Setahu Syafran, teknis lain yang dihadapi oleh PPAT selama proses pemeriksaan adalah tidak adanya pendampingan yang dilakukan oleh rekan sejawatnya. Bahkan, PP IPPAT pernah beberapa kali diusir ketika ingin mendampingi proses pemeriksaan PPAT bersangkutan. Padahal telah ada sejumlah yurisprudensi dari MA dimana jika akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris dan PPAT bermasalah oleh para pihak sendiri, maka hal tersebut menjadi urusan para pihak dan notaris dan PPAT tidak perlu dilibatkan.
Bahkan hal itu telah ditegaskan dalam yurisprudensi Putusan MA Nomor: 702K/Sip/1973 tanggal 5 September 1973, Putusan MA Nomor: 3199K/Pdt/1992, tanggal 27 Oktober 1994, dan Putusan MA Nomor: 1140K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998 bahwa notaris dan PPAT bukan pihak dalam akta.
“Setiap notaris/PPAT dalam menjalankan jabatannya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kode etik notaris/PPAT, asas hukum, maka tidaklah dapat dituntut secara hukum, baik perdata, administrasi, dan pidana,” tegas Syafran.
Syafran menyimpulkan, sejaitnya tidak ada kewajiban yang memaksa bagi notaris dan PPAT untuk menyelidiki secara materiil mengenai apapun atau hal-hal yang dikemukakan oleh pihak penghadap di hadapan notaris dan PPAT. Selain itu, notaris dan PPAT bertugas membingkai dan memformulasikan kehendak para pihak dalam akta otentik berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka gugatan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUHPerdata tidak dapat dilakukan.
Oleh karenanya, PP IPPAT dalam waktu dekat akan segera melakukan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan pihak Polri berkaitan dengan penyamaan persepsi mengenai tugas dan peran PPAT. Terlepas dari hal itu, Syafran meminta PPAT agar berani berkata tidak terhadap klien. Maksudnya, tidak ‘meng-iyakan’ apapun yang diminta oleh klien apalagi membantu mencarikan celah hukum yang bisa menjadi peluang agar klien tetap menggunakan jasa dan tidak lari ke PPAT yang lain. Selain itu, ia juga berpesan agar PPAT anggota IPPAT segera ikut serta dalam program asuransi profesi PPAT.
“Kita juga lakukan pembinaan bersama dengan penegak hukum baik Polri, Kejaksaan, MA, maupun dengan KPK, PPATK, dan Ombudsman. Kita juga lakukan kerjasama dengan kementerian ATR supaya anggota bisa merasa terayomi,” pungkasnya.