Mahkamah Konstitusi (MK) memberi norma baru terhadap penjelasan pasal 90 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan lewat putusan No. 72/PUU-XIII/2015. Dalam putusannya MK menegaskan selisih kekurangan pembayaran upah minimum selama masa penangguhan wajib dibayar pengusaha kepada pekerja.
Namun, putusan itu dirasa menjadi tantangan bagi pengusaha yang mengalami masalah keuangan dan tidak mampu membayar sesuai upah minimum sehingga mengajukan penangguhan.
Sekjen OPSI, Timboel Siregar, melihat selama ini penangguhan dipandang banyak kalangan seolah lampu hijau bagi pengusaha untuk tidak membayar upah buruhnya sesuai ketentuan upah minimum. Penangguhan itu dianggap bukan utang pengusaha kepada buruh, sehingga selisih kekurangannya tidak wajib dibayar.
Pengusaha yang penangguhan upahnya dikabulkan mestinya membayar selisih kekurangan upah kepada pekerja/buruh dalam waktu tertentu. Baginya, pendapat itu semakin kuat dengan adanya putusan MK. Timboel berpendapat, pengusaha yang tidak membayar selisih kekurangan upah minimum itu bisa dijerat pidana sebagaimana diatur pasal 185 UU Ketenagakerjaan.
“Sanksipidana dapat dikenakan kepada pengusaha walau perusahaan tersebut mendapat penangguhan upah minimum dari Gubernur,” kata Timboel di Jakarta, sebagaimana yang dilansir hukumonline.com
Guna memastikan putusan MK itu berjalan, Timboel mengusulkan pemerintah untuk merevisi peraturan terkait penangguhan upah seperti Kepmenakertrans No.KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Peraturan itu perlu disesuaikan dengan putusan MK karena tata cara pembayaran selisih upah minimum yang ditangguhkan itu butuh aturan lebih lanjut baik waktu dan cara pembayarannya.
Timboel mengakui putusan MK ini berdampak baik bagi pekerja/buruh karena upah minimum dijamin pemenuhannya. Sebaliknya bagi pengusaha yang kesulitan membayar upah minimum, mereka yang merugi selama dua tahun berturut-turut bisa jadi usahanya semakin terpuruk dan terancam tutup.
Menurut Timboel Pemerintah perlu mencegah agar pengusaha yang mengalami kesulitan itu tetap menjalankan usahanya tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sekaligus mampu memenuhi kewajibannya membayar upah minimum. Pemerintah pusat dan daerah bisa memberikan subsidi bagi pengusaha yang terbukti merugi minmal 2 tahun berturut-turut sehingga tidak mampu memenuhi ketentuan upah.
“Subsidi itu bisa berbentuk potongan tarif listrik, insentif pajak dan insentif dalam bentuk lainnya sehingga mendukung perusahaan mencegah terjadinya PHK,” usul Timboel.
Untuk itu, Ketua Umum DPN Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengatakan bagi pengusaha yang mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu membayar upah minimum, ada dua cara yang kemungkinan dilakukan untuk menjalankan putusan MK tersebut. Pertama, melakukan pengurangan pekerja/buruh guna menjaga keuangan perusahaan supaya bisa membayar sesuai ketentuan upah minimum. Kedua, perusahaan menutup usahanya.
Hariyadi menilai putusan itu tidak sensitif terhadap kondisi perusahaan skala kecil yang selama ini kesulitan membayar upah pekerjanya sesuai peraturan yang berlaku. Sektor industri ini rentan terhadap kenaikan upah minimum. (Baca Juga: MK Tolak Uji Materi Pasal UU BPJS, Ini Alasannya)
Jika penegakan hukum dilakukan Hariyadi yakin akan banyak pengusaha di sektor industri skala kecil yang tidak melakukan penangguhan upah bakal masuk penjara karena sebagian besar tidak mampu membayar upah minimum. Sebab, UU Ketenagakerjaan mengkategorikan tindakan yang melanggar ketentuan upah minimum merupakan pidana.
“Faktanya di lapangan perusahaan kecil yang tidak membayar upah minimum jumlahnya banyak. Jika mereka tidak mampu membayar upah minimum dan tidak mengajukan penangguhan upah bisa masuk penjara semua,” urai Hariyadi.
Apindo berharap pemerintah dan DPR segera merevisi UU Ketenagakerjaan karena sebagian ketentuannya sudah dianulir MK. Sehingga aturan yang ada dalam UU Ketenagakerjaan tidak bisa dijalankan secara parsial karena sudah tidak utuh lagi. “Aturan itu harus dibuat realistis agar para pihak bisa menjalankan,” pungkasnya.