Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menentukan hasil Peraturan OJK (POJK) tentang Perubahan Investasi SBN di industri keuangan nonbank (IKNB). Dalam hal ini, obligasi atau sukuk maupun efek beragun aset berdasarkan surat partisipasi (EBA-SP) yang diterbitkan BUMN, BUMD, dan anak usaha BUMN dapat diperhitungkan dalam investasi SBN. Pada 2016, batas perhitungan yang diizinkan sebesar 40% dan tahun depan menjadi 50%.
Deputi Komisioner Pengawas IKNB II OJK Dumoly Pardede mengatakan, total investasi perusahaan asuransi dan dana pensiun (dapen) di SBN mencapai Rp 240 triliun. Berkaitan dengan kewajiban minimal investasi di SBN, industri dapen sudah memenuhi ketentuan dan di dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) juga sudah di atas ketentuan minimal. Hanya saja, ungkap dia, industri asuransi justru masih kurang sekitar 3%.
“Melalui POJK Nomor 36/2016, kami berikan ruang perluasan agar pelaku dari lembaga jasa keuangan nonbank dapat memenuhi kewajiban minimal investasi SBN. Adapun definisi infrastruktur digunakan OJK antara lain meliputi sektor perumahan, perkebunan, kimia, pertanian, pariwisata, dan peternakan,” ujarnya.
POJK Nomor 36 tersebut merupakan perubahan dari POJK Nomor 1/2016. Sebelumnya pada POJK Nomor 1, instrumen yang dapat diperhitungkan adalah surat utang yang langsung diterbitkan negara dan SBN yang berada di reksa dana. Padahal, sesuai ketentuan asuransi umum, reasuransi, dan perusahaan penjaminan wajib minimal berinvestasi 10% pada 2016 dan naik menjadi 20% pada 2017.
Senada, asuransi jiwa dan dapen minimal wajib investasi di SBN 20% lalu naik menjadi 30%. Sementara itu, dua BPJS sudah wajib memenuhi porsi minimal investasi di SBN sebesar 30% pada akhir 2016.
Seiring dengan perluasan penggolongan instrumen investasi di SBN, obligasi maupun EBA-SP yang diterbitkan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF juga termasuk ke dalam instrumen yang dapat diperhitungkan ke SBN. Pasalnya, tegas Dumoly, surat utang tersebut digunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur perumahan.
“Dengan regulasi ini, OJK juga ingin mendukung penerbitan obligasi di pasar modal. Sebab, dengan hal ini artinya perusahan (BUMN/BUMD/anak usaha BUMN) sudah memiliki kepastian pasar yang akan membeli surat utang mereka,” jelas dia.
Menanggapi finalisasi POJK 36, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menjelaskan, industri pasti cukup lega dengan perluasan aturan OJK tersebut. Sebab, di tengah tren suku bunga deposito bank yang menurun dan upaya pemenuhan investasi minimal di SBN, POJK tersebut akan membuat perusahaan asuransi jiwa lebih mudah meramu atau melakukan diversifikasi sekaligus menjaga hasil investasi mereka. “Soalnya dibanding SBN, peluang return yang bisa kami dapatkan dari obligasi korporasi (BUMN/BUMD/anak BUMN) lebih besar,” jelas dia.
Togar mengungkapkan, saat ini porsi investasi perusahaan asuransi jiwa di SBN secara industri baru mencapai 14%. Dari segi upaya pemenuhan, dia meyakini perusahaan anggota AAJI akan berupaya memenuhi. “Kalau dari industri, kami memang berharap banyak untuk perluasan ketentuan instrumen SBN,” ungkap dia.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Yasril Y Rasyid juga menyambut aturan OJK tersebut. “Untuk membantu anggota memenuhi ketentuan itu, AAUI juga masih berupaya membantu untuk pembelian SBN melalui private placement. Minggu ini kami akan ambil keputusan, apakah akan beli bersama melalui tiga manajer investasi atau berupaya sendiri-sendiri,” papar dia.
Berkaitan dengan private placement, Ketua Bidang Keuangan AAUI Jenry C Manurung mengatakan, pada komitmen sebelumnya anggota AAUI yang berniat membeli SBN secara kolektif sudah mencapai Rp 1,2 triliun. Jumlah anggota yang memenuhi ketentuan wajib investasi minimal di SBN 10% juga sudah bertambah.
“Jadi minggu ini akan kami lihat bagaimana komitmen mereka, karena sesuai ketentuan jika ingin membeli dengan mekanisme private placement minimal Rp 300 miliar untuk SUN konvensional, atau Rp 250 miliar jika berupa syariah,” jelas dia.