PT Freeport Indonesia, PT Amman Mineral Nusa Tenggara, dan pemegang Kontrak Karya (KK) lainnya tetap bisa mengekspor konsentrat (mineral yang sudah diolah tapi belum dimurnikan) pasca 11 Januari 2017. Caranya, mereka harus mengubah KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 telah mengatur bahwa mulai 11 Januari 2017 sudah tidak ada lagi relaksasi ekspor konsentrat. Semua mineral yang diekspor harus sudah dimurnikan di dalam negeri.
Dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) pasal 170 mengatur semua pemegang KK harus memurnikan mineral di dalam negeri paling lambat 5 tahun setelah UU Minerba diterbitkan.
Artinya, pemurnian harus dilakukan sejak 2014. Namun PP 1/2014 memberikan relaksasi hingga 2017 dengan harapan para pemegang KK mau membangun smelter (fasilitas pemurnian mineral).
Meski demikian, Freeport cs bisa tetap mendapat perpanjangan izin ekspor konsentrat jika mau mengubah KK mereka menjadi IUPK. Sebab, UU Minerba tidak memberi batas waktu bagi pemegang IUPK untuk melakukan pemurnian mineral.
“Di pasal 170 (UU Minerba), disebutkan bahwa pemegang KK dalam 5 tahun harus melakukan pemurnian. Sedangkan kalau IUPK tidak ada batasannya,” ujar Kepala Biro Komunikasi Kementerian ESDM, Sujatmiko, Jumat (23/12/2016).
Selain bisa tetap mengekspor konsentrat, pemegang KK juga bisa memperoleh perpanjangan izin lebih cepat kalau mau berganti ke IUPK. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 (PP 77/2014), perpanjangan KK baru bisa diberikan pemerintah 2 tahun sebelum kontrak berakhir. Misalnya untuk Freeport yang kontraknya berakhir 2021, perpanjangan baru bisa diberikan pada 2019.
Sedangkan kalau IUPK, perusahaan tambang bisa memperoleh kepastian perpanjangan lebih cepat, 5 tahun sebelum izin berakhir. Jadi misalnya izin habis tahun 2021, pemegang IUPK sudah bisa mengajukan perpanjangan sejak 2016.
Tapi IUPK tidak sama dengan KK. Sujatmiko menjelaskan, posisi negara dan perusahaan tambang dalam IUPK berbeda dengan di KK. Dalam KK posisi negara dan korporasi setara sebagai 2 pihak yang berkontrak.
Sedangkan dalam IUPK, kedudukan negara lebih tinggi dari korporasi. Negara adalah pemberi izin dan perusahaan tambang adalah pemegang izin.
“Kalau KK kan kontrak, kalau IUPK itu izin. Kalau kontrak antara dua pihak yang setara, kalau IUPK pemerintah sebagai pemberi izin,” ucapnya.
Selain itu, royalti dan pajak yang harus disetor pada negara tentu berbeda dengan di KK. “Semangatnya kita di UU Nomor 4 Tahun 2009 adalah meningkatkan penerimaan negara,” pungkasnya.