Aturan terbaru mengenai Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (RPM) tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet, atau lebih dikenal dengan layanan over the top (OTT) masih terus digodok Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Padahal, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara menargetkan aturan tersebut ditetapkan paling lambat akhir Juni 2016 kemarin.
Setidaknya masih ada sejumlah perdebatan secara substansi dalam draf RPM tersebut. Anggota Bidang Kebijakan Publik Indonesia e-Commerce Association (iDEA), Even Alex Chandra, berpendapat secara umum substansi yang diatur dalam RPM Layanan OTT dipersiapkan terburu-buru.
Pasalnya, Alex melihat ada sejumlah hal yang dinilai tidak bijak apabila diterapkan saat ini kepada industri digital di Indonesia yang masih dalam tahap awal perkembangan. “Secara umum, kami menilai rancangan peraturan ini dipersiapkan terburu-buru. Paling tidak 3-5 tahun lagi baru tepat diterapkan aturan seperti itu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Alex mengungkapkan, setidaknya ada enam hal yang berimplikasi terhadap pelaku e-commerce di Indonesia dari RPM itu. Pertama, definisi penyedia layanan OTT terlampau luas. Menurut Alex, merujuk definisi dalam draf RPM Layanan OTT maka setiap website, aplikasi, blog, merchant e-commerce, bahkan pengguna social media akan dianggap sebagai penyedia layanan OTT selama melakukan aktivitas pengunggahan konten. Pasal 1 angka 3 RPM Layanan OTT, yang dimaksud dengan layanan OTT terdiri dari layanan aplikasi dan layanan konten.
Sementara, layanan aplikasi diartikan sebagai penggunaan perangkat lunak untuk mengakses layanan melalui internet. Sedangkan layanan konten didefinisikan sebagai ‘Layanan Konten melalui internet adalah penyediaan informasi digital yang dapat berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, permainan (game) atau kombinasi dari sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh (download) dengan memanfaatkan jasa akses internet melalui penyelenggara jaringan telekomunikasi.’
“Secara bisnis terlalu luas atau general. Artinya penjual di OLX, Tokopedia, Instagram, FB, dll adalah penyedia layanan OTT. Berarti, harus comply dalam peraturan ini seperti wajib melakukan pendaftaran dan laporan ke BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia,-red),” ujar Alex.
Kedua, adanya potensi tumpang tindih peraturan. Maksud Alex, tumpang tindih antar regulasi terletak pada poin mengenai tanggung jawab penyedia layanan OTT. Saat ini antara Kominfo, Kementerian Perdagangan, Kementerian Hukum dan HAM, bersama iDEA tengah mengerjakan rancangan peraturan mengenai Safe Harbor yang pada intinya mengatur batasan tanggung jawab antara penyedia layanan dan pengguna. Ia menyarankan semestinya Kominfo menggunakan prinsip safe harbor karena lebih jelas batasan tanggung jawab.
Ketiga, kewajiban pendaftaran. RPM Layanan OTT, kata Alex, kembali menyinggung mengenai kewajiban pendaftaran. Padahal, sejumlah peraturan telah ada yang mengatur dan ada sebagian yang juga akan mengatur mengenai kewajiban pendaftaran. Misalnya, Permenkominfo Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik dan Permenkominfo Nomor 4 Tahun 2016 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi. Selain itu, kewajiban pendaftaran juga akan diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) e-Commerce.
Keempat, kewajiban menggunakan payment gateway nasional. Isu yang akan mengemuka terkait kewajiban ini adalah masih adanya tarik-menarik antara Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai rancangan peraturan mengenai payment gateway. Tarik ulur pembahasan itu dikhawatirkan berdampak pada implementasi bisnis pada pelaku e-commerca ataupun pihak perbankan sendiri. Pasalnya, kewajiban penggunaan payment gateway juga diikuti dengan kewajiban penempatan sebagian server dan nomor protokol internet di Indonesia.
“Jangan sampai pelaku e-commerce dan perbankan kehilangan potensi uang jutaan rupiah akibat server yang down selama beberapa menit,” sebutnya.
Kelima, mengenai opsi kewajiban penyedia layanan OTT bekerjasama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi. Dalam draf RPM Layanan OTT, diusulkan sejumlah opsi dimana salah satunya mewajibkan penyedia layanan OTT yang mempunyai fungsi telekomunikasi untuk bekerjasama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi. Menurut Alex, opsi seperti itu berpotensi membatasi inovasi penyedia layanan OTT apabila opsi yang dipilih adalah wajib bekerjasama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi.
Sebagaimana tertulis dalam Pasal 7 RPM Layanan OTT, terdapat tiga opsi pilihan bagi penyedia layanan OTT ketika melakukan pembenan biaya (berbayar) atau tidak berbayar terhadap pengguna layanan OTT. Kesatu, penyedia layanan OTT dapat bekerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi. Kedua, penyedia layananan OTT wajib bekerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi. Ketiga, penyedia layanan OTT wajib menjadi penyelenggara jasa telekomunikasi. “Ini membatasi inovasi,” tegasnya.
Keenam, kewajiban penyimpanan data transaksi dan trafik. Tak bisa dipungkiri bahwa geliat perusahaan perintis (start-up) bidang e-commerce akhir-akhir ini semakin tak terbendung. Pasal 9 RPM Layanan OTT mewajibkan penyedia layanan menyimpan data rekaman transaksi dan trafik paling sebentar tiga bulan.
Tujuannya, berkenaan dengan keperluan proses peradilan agar penegak hukum tak kesulitan ketika menelusuri alat bukti dalam penanganan perkara. Bahkan, untuk proses peradilan, penyedia layanan OTT wajib menyimpannya paling tidak sampai putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Di satu sisi, secara penegakan hukum sangat baik namun secara pelaku e-commerce agaknya tak mudah untuk mengimplementasikan hal tersebut.
Kritik serupa juga dilontarkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) melalui surat tanggapan dan masukan yang ditujukan kepada Kominfo tertanggal 26 Mei 2016. Dari sejumlah catatan, salah satu yang dikritisi adalah mengenai kewajiban pembentukan Badan Usaha Tetap (BUT) layanan OTT asing sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) RPM Layanan OTT. Bagi ELSAM, pembentukan BUT sangat tidak realistis karena hal itu justru menghambat pertumbuhan ekonomi berbasis internet.
Lebih lanjut, keharusan menjadi BUT mengindikasikan gagalnya RPM Layanan OTT melihat layanan OTT sebagai entitas digital yang terlepas dari keharusan untuk terikat dengan keberadaan fisik. Selain karena proses rumit dan memakan biaya yang tidak kecil, kewajiban itu berpotensi menjadi beban bagi pengguna layanan apabila biaya membuat BUT dibebankan sebagian kepada pengguna layanan OTT.
“Harus dievaluasi kembali dalam rangka mengoptimalkan peran layanan OTT asing dalam mengakselesari pertumbuhan ekonomi teknologi digital di Indonesia,” tulis Deputi Direktur PSDHAM ELSAM, Wahyudi Djafar.
Di tempat yang sama, Anggota Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Muhammad Imam Nashiruddin mengatakan bahwa secara formal memang Kominfo telah menutup tanggapan mengenai RPM Layanan OTT sejak 26 Mei 2016. Namun, secara pribadi, ia masih membuka ketika ada pihak-pihak yang ingin memberikan masukan dan tanggapan.
Untuk diketahui, Menkominfo Rudiantara telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over The Top) dan berlaku sejak 31 Maret 2016 sebagai jembatan sebelum RPM tersebut diterbitkan. Tujuannya, untuk memberikan pemahaman kepada penyedia layanan OTT dan para penyelenggara telekomunikasi untuk menyiapkan diri secara internal untuk mematuhi regulasi yang sedang disiapkan oleh Kominfo. Selain itu, diharapkan juga dengan diterbitkannya SE Nomor 3 Tahun 2016 dapat memberikan waktu yang memadai bagi penyedia layanan OTT untuk menyiapkan segala sesuatu berkaitan akan diberlakukannya regulasi terkait OTT.