Damai itu indah merupakan jargon yang selalu dipakai masyarakat. Kalau timbul konflik, semua pihak harus mencari jalan tengah atau solusi yang mendamaikan. Demikian pula jika terjadi sengketa hukum. Jika yang terjadi adalah sengketa perdata, sudah menjadi keharusan untuk mendahulukan mediasi. Mahkamah Agung punya perangkat hukum yang mewajibkan proses mediasi dalam perkara perdata.
Mediasi adalah forum yang disediakan untuk memberikan kesempatan kepada para pihak duduk bersama membahas pokok sengketa. Jika bisa berdamai, difasilitasi seorang mediator, mereka bisa membuat akta perdamaian (acta van dading) yang kemudian didaftarkan ke pengadilan. Di Peradilan Agama, yang juga bersifat perdata, konsep perdamaian juga sudah lazim dilakukan. Gugatan David ML Tobing terhadap Ford Motor Indonesia adalah salah satu contoh sengketa perdata yang berujung damai.
Ide tentang perdamaian terbawa juga ke ranah pidana, misalnya dengan konseprechterlijke pardon. Dalam hukum adat, sudah lazim perkara pidana selesai lewat musyawarah mufakat. Pelaku dan keluarga korban sepakat berdamai dengan kompensasi atau tanpa kompensasi tertentu. Hukum Indonesia membenarkan penyelesaian yang demikian.
Pertanyaannya, apakah ide perdamaian itu bisa dibawa ke ranah tata usaha negara? Bolehkah hakim Pengadilan Tata Usaha Negara mendamaikan para pihak, dan kemudian ‘menghentikan’ penyelesaian kasus di tengah jalan? Kalau boleh, apa urgensi mediasi diterapkan di PTUN? Pertanyaan inilah yang coba dijawab tim peneliti Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung yang dikoordinasi Bambang Heriyanto
Sebuah penelitian kepustakaan dilakukan pada tahun 2015, disertai diskusi kelompok terfokus. Bambang Heriyanto, dalam pengantar hasil penelitian, menulis penelitian ini berangkat dari perspektif hukum positif (ius constitutum) dan hukum masa depan (ius constituendum) untuk melihat peluang dan prospek perdamaian/mediasi di PTUN. Karena itu penelitian ini diberi judul ‘Pengkajian tentang Penyelesaian Sengketa TUN Melalui Perdamaian dalam Perspektif Ius Constitutum dan Ius Constituendum’.
Hukum Indonesia member alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Out of court settlement bukan sesuatu yang haram, bahkan disarankan. Arbitrase, mediasi, negosiasi, dan konsiliasi hanya sebagian di antara cara atau forum mencapai perdamaian itu.
Proses persidangan di PTUN seharusnya berjalan sesuai asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya murah. Faktanya, tim peneliti menemukan kasus TUN –gugatan terhadap rektor– yang prosesnya hingga eksekusi memakan waktu 7 tahun. Penggugatnya pun sudah pensiun (Putusan No. 183 K/TUN/2003). Bahkan ada yang sampai menghabiskan waktu 9 tahun (Putusan No. 07 PK/TUN/2006).
Lamanya proses perkara ikut menyumbang problem eksekusi. Misalnya dalam sengketa kepegawaian. Saat putusan sudah berkekuatan hukum tetap, penggugat sudah memasuki usia pensiun. Artinya, kalaupun hakim memenangkan penggugat, sulit untuk menjalankan putusan hakim (untuk mengembalikan jabatan).
Ada pula kenyataan, para pihak tak ingin melanjutkan proses persidangan. Mereka ingin damai. Menurut peneliti, Surat Edaran No. 2 Tahun 1991 telah memberi jalan keluar. Mereka boleh berdamai, tetapi harus di luar pengadilan. Hakim hanya memerintahkan penggugat mencabut gugatan atau memerintahkan pencoretan perkara dari register.
Tim peneliti menjelaskan meskipun hukum acara TUN tak mengenal lembaga perdamaian, praktiknya hakim tetap bisa menyarankan para pihak yang bersengketa untuk berdamai. Cuma, kalau ide perdamaian ingin dilembagakan di PTUN perlu ada penyerdehanaan hukum acara.
Gagasan mediasi di PTUN, kata peneliti, ‘juga paralel dengan kebijakan dan langkah yang ingin dikembangkan oleh Mahkamah Agung dalam rangka mempercepat proses penyelesaian sengketa’. Sekaligus, upaya mengurangi penumpukan perkara di tingkat Mahkamah Agung.
Penelusuran menemukan data ada 2.720 beban perkara kasasi dan peninjauan kembali (PK) di kamar TUN untuk tahun 2015. Sebanyak 2.307 berhasil diputus. Jumlah terbanyak dari 2.720 perkara itu ada di tingkat PK. Ada 315 sisa tahun 2014, ditambah perkara masuk tahun berjalan 1.518. Total beban perkara 1.833, dab berhasil diputus 1.472, sehingga sisa permohonan PK yang masuk tahun 2016 adalah 361.
Masalahnya, apakah perdamaian dalam sidang TUN memiliki pijakan hukum? Ya, ada. Peneliti melakukan kajian historis bahwa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2003 tentang mediasi di pengadilan, memungkinkan mediasi di PTUN. Itu terbaca dari kalimat ‘(mediasi) dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan lainnya (selain badan peradilan umum perdata-red)”. Sayang, dalam Perma No. 1 Tahun 2008, aturan pengganti Perma No. 2 Tahun 2003, frasa tadi sudah dihapuskan.
Peneliti juga melihat kesamaan hukum acara TUN dan hukum acara perdata. Kalau hukum acara perdata memungkinkan mediasi, maka seyogianya hukum acara TUN juga memperbolehkan. Cuma, masalahnya, TUN berada di ranah hukum publik. Tergugat bukan mewakili kepentingan pribadinya, melainkan kepentingan publik. Meskipun begitu, bukan berarti tak ada ruang hukum publik mengenal mediasi. Bukankah UU Pelayanan Publik dan UU Keterbukaan Informasi Publik bisa dijadikan contoh hukum publik yang mengenal mediasi?
Peneliti juga mengemukakan sejumlah perkara TUN yang berakhir damai berkat saran hakim. Ditambah lagi kecenderungan legislasi di Indonesia yang semakin banyak mengenal dan memperkenalkan penyelesaian di luar pengadilan.
Kalau diakomodasi, kapan mediasi dilaksanakan hakim PTUN? Peneliti menyarankan agar saran mediasi disampaikan pada saat acara pemeriksaan pendahuluan di sidang TUN. Namun agar jelas dan tidak menimbulkan perbedaan pandangan, perlu diterbitkan payung hukum mediasi/damai di PTUN. Peneliti menyarankan payung hukumnya adalah Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebuah saran yang bermakna UU No. 51 Tahun 2009 perlu direvisi, bukan? Tim peneliti telah menjawabnya langsung dalam bagian saran hasil penelitian ini.