Bermula dari rasa keprihatinan terhadap degradasi moral, seorang Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Euis Sunarti, dan 11 warga negara Indonesia lainnya memohonkan pengujian beberapa pasal yang mengatur kesusilaan dalam KUHP. Materi muatan pasal-pasal yang dimohonkan uji itu sudah lama dipedebatkan. Salah satunya dikenal sebagai larangan homoseksual.
Larangan homoseksual itu diatur dalam Pasal 292 KUHP. Pasal ini dalam KUHP versi R. Soesilo menyebutkan: ‘Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun’.
Pasal ini di mata Prof. Euis dkk mengandung kelemahan karena hanya melarang perbuatan homoseksual antara seorang dewasa dengan seorang anak yang sejenis. Misalnya seorang laki-laki dewasa dengan laki-laki yang masih berusia 15 tahun. Dengan kata lain, perbuatan homoseks dua orang laki-laki atau lebih yang sudah dewasa tak dapat dijerat hukum pidana; dan pelakunya tak bisa dihukum. Bagaimana pula kalau ‘korbannya’ orang dewasa sedangkan pelakunya masih anak-anak? Nah, para pemohon ingin Mahkamah Konstitusi ‘mengoreksi’ kelemahan-kelemahan itu.
Sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang mengemuka dalam diskusi-diskusi mengenai Pasal 292 KUHP. Misalnya, pertama, ukuran kedewasaan. Kedua, cakupan, jenis, dan batas-batas yang dimaksud perbuatan cabul. Ketiga, apakah pasal ini hanya bisa menjerat pelaku yang sama jenis kelaminnya, apakah bisa menjerat jika dilakukan beramai-ramai dan terdiri dari jenis kelamin yang berbeda?
KUHP adalah undang-undang warisan Belanda. Rumusan Pasal itu versi bahasa Belanda adalah ‘De meerderjarig die met een minderjarig van hetzelfde geslacht, viens minderjarige hij kent of redelijkerwijs moet vermoeden, ontucht pleegt, wordt gestraft met gevangenisstraft van ten hoogste vijf jaren’. Secara bebas bisa diterjemahkan orang dewasa yang melakukan suatu tindakan melanggar kesusilaan dengan anak belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, yang kebelumdewasaannya ia ketahui atau sepantasnya ia harus duga, dipidana selama-lamanya lima tahun.
Menurut riwayatnya, gagasan untuk memasukkan larangan homoseksual dalam Wetboek van Straftrecth (WvS) datang dari Pemerintah Kerajaan Belanda. Gagasan itu bersamaan dengan keinginan Pemerintah memasukkan beberapa ketentuan baru ke dalam WvS. Di parlemen Belanda, Tweede Kamer’, gagasan Pemerintah itu mendapat banyak pertentangan.
Namun akhirnya, pasal larangan homoseksualitas disetujui. Melalui suatu undang-undang tertanggal 20 Mei 1911, Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1911 No. 130, pasal homoseksualitas ditambahkan ke dalam Pasal 248b WvS. Itulah yang kini ada dalam Pasal 292 KUHP. Dengan undang-undang sama dimasukkan pula Pasal 248ter, Pasal 250bis, 250ter, 251, 251bis, dan Pasal 254bis Wvs. Kini, dikenal berturut-turut sebagai Pasal 293, 296, 297, 298, 299, dan 303 KUHP.
Soesilo menyebutkan dewasa dalam Pasal 292 adalah 21 tahun, atau orang yang belum 21 tahun tapi sudah menikah. ‘Perbuatan cabul’ diartikan sebagai segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Soesilo memasukkan cium-ciuman, meraba-raba alat kemaluan, meraba buah dada, dan onani ke dalam perbuatan ini. Persetubuhan juga termasuk, tetapi dalam undang-undang diatur tersendiri. Menurut dia, yang dilarang dalam Pasal 292 bukan saja memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul.
Kelemahan pasal ini versi Prof. Euis dkk juga diinggung Soesilo. “Dua orang semua belum dewasa atau dua orang semua sudah dewasa bersama-sama melakukan perbuatan cabul, tidak dihukum menurut pasal ini, oleh karena yang diancam hukuman ini perbuatan cabul dari orang dewasa terhadap orang belum dewasa’. Agar dapat dihukum menurut pasal ini, orang dewasa itu harus tahu atau setidak-tidaknya patut menyangka bahwa temannya berbuat cabul itu belum dewasa.
Menurut PAF Lamintang, dalam bukunya Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan (2011), perumusan Pasal 292 KUHP mempunyai unsur subjektif pro parte dolus dan pro parte culpa. Artinya, orang dewasa tahu (unsur dolus) atau sepatutnya ia dapat menduga (unsur culpa). Lamintang menegaskan unsur subjektif itu membawa konsekuensi pengadilan harus dapat membuktikan adanya pengetahuan pelaku atau setidak-tidaknya dugaan pelaku bahwa pasangannya melakukan perbuatan cabul belum dewasa. Kalau tidak dapat dibuktikan tidak ada alasan bagi hakim menghukum pelaku.
Adami Chazawi, dalam bukunya Tindak Pidana Mengenai Kesopanan (2007) menyebut Pasal 292 KUHP sebagai perbuatan cabul sesama kelamin (homoseksual). Perbuatan cabul dalam pasal ini dilakukan oleh minimal dua orang. Namun orang yang dibebani tanggung jawab pidana adalah yang dewasa. Pembebanan tanggung jawab pidana kepada orang dewasa, tulis Chazawi, wajar karena rasio dibentuknya kejahatan ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan yang melanggar kesusilaan umum.
Bagaimana kalau anak yang belum dewasa itulah yang melakukan pencabulan terhadap seorang dewasa yang sesama jenis kelamin? Apakah pelaku yang belum dewasa itu dapat dijerat menggunakan Pasal 292 KUHP? S.R Sianturi menuliskan jawabannya: ‘Apabila justru anak yang belum dewasa itulah yang melakukan pencabulan terhadap orang dewasa, dan orang dewasa itu hanya membiarkan dirinya dicabuli, maka si orang dewasa itu tidak dapat dituntut berdasarkan pasal ini, karena di sini dirumuskan membiarkan dilakukan percabulan terhadap dirinya’.
Pasal homoseksual punya persamaan dengan aturan perzinaan dalam hal syarat minimal orang yang terlibat, yakni dua orang. Bedanya, dalam perzinaan pelakunya lain jenis kelamin; dalam percabulan sesama jenis: laki dengan laki atau perempuan dengan perempuan (lesbian). Dalam zina, disyaratkan terjadi persetubuhan, sebaliknya dalam percabulan makna persetubuhan dalam arti sesungguhnya tak terjadi.
Dalam KUHP, aturan perbuatan cabul sebenarnya bukan hanya diatur Pasal 292. Masih ada Pasal 289 (perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan), 290 (perbuatan cabul pada orang pingsan atau tidak berdaya), 293 (menggerakkan orang yang belum dewasa untuk melakukan atau dilakukan perbuatan cabut), 294 (perbuatan cabul dengan anak kandung, anak tiri, atau anak di bawah pengawasan), 295 (memudahkan perbuatan cabul oleh anak kandung, anak tiri, anak angkat yang belum dewasa), dan Pasal 296 (memudahkan perbuatan cabul orang lain dengan orang lain sebagai mata pencaharian atau kebiasaan).
Kini Pasal 292 KUHP sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Sederet pertanyaan bisa diajukan. Pertanyaan tentang konstitusionalitas pasal itu, tentu saja, Mahkamah yang akan menjawabnya. Yang pasti, selain pemohon, ada juga pihak lain yang minta dijadikan sebagai pihak terkait dalam perkara ini.