Pemerintah perlu meninjau kembali aturan terkait dengan dokumentasi transfer pricing yang baru saja diterbitkan dalam bentuk peraturan menteri keuangan karena tidak sinkron dengan aturan yang sama sebelumnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai ada ketidaksinkronan antara Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 213/PMK.03/2016 dengan Perdirjen Pajak No. PER-43/PJ/2010 yang diubah dengan Perdirjen Pajak No. PER-32/PJ/2011.
“Kejelasan antara guidelines versus regulasi. Ada tumpang tindih karena selama ini Perdirjen sebagai guideline yang blm dicabut, tapi beberapa hal, misalnya threshold diubah oleh PMK,” ujarnya, Minggu (15/1).
Dalam Perdirjen, wajib pajak (WP) yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan nilai tidak lebih dari Rp10 miliar dalam satu tahun pajak tidak perlu melakukan langkah-langkah penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Sementara itu, dalam PMK yang baru saja keluar, ada beberapa kriteria yang mewajibkan WP menyelenggarakan dan menyimpan dokumen penentuan harga transfer (transfer pricing documentations/ TP Doc). TP Doc ini sebagai dasar penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Khusus untuk kriteria dengan batasan besaran transaksi afiliasi, PMK itu menyebut WP wajib menyelenggarakan dan menyimpan TP Doc jika memiliki transaksi lebih dari Rp20 miliar untuk barang berwujud, atau lebih dari Rp5 miliar untuk penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, dan transaksi afiliasi lainnya.
Selain itu, dalam PMK, cakupan kewajiban penyelenggaraan dan penyimpanan TP Doc tidak ditegaskan dengan cross border. Artinya, lanjut dia, aturan ini mencakup transaksi domestik, padahal dalam Perdirjen, pemerintah membatasi kewajiban penentuan TP hanya mencakup transaksi yang dilakukan WP dalam negeri atau bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia dengan WP luar negeri.
Jika hal ini benar terjadi, menurutnya, perlu ada antisipasi naiknya cost of compliance dan ketersediaan data pembanding. Kewajiban TP Doc untuk transaksi domestik tanpa safe harbor berupa pembedaan WP atau sektor low risk, jelasnya, akan mengerek biaya (costly) dan memunculkan ketidakadilan bagi WP patuh.
Prastowo juga mengatakan asumsi TP Doc yakni ketersediaan data keuangan pembanding. Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), sambungnya, pemerintah harus menyediakan. “Kalau tidak ada, bagaimana penalti mau dikenakan? Apakah fair?”
Pada saat yang bersamaan, ketentuan mengenai ketersediaan dokumen induk dan dokumen lokal – dua dari tiga TP Doc – paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak juga agak berat karena laporan keuangan hasil audit belum selesai dan biasanya belum tersedia data pembanding.
“Intinya ini perlu revisi PMK atau Perdirjen baru dan/atau revisi Perdirjen. Kebijakan yang sensitif, high profile, dan internationally-driven sebaiknya melalui deliberasi publik,” tuturnya.
Otoritas Pajak hingga saat ini masih berjanji akan memberikan penjelasan resmi terkait beleid baru tersebut kepada publik dalam waktu dekat. John Hutagaol, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak hanya mengatakan TP Doc ini sesuai rekomendasi proyek anti BEPS dalam rencana aksi 13.
Selain TP doc yang sudah memuat laporan per negara (country by country/ CbCR), pemerintah Indonesia harus segera melakukan konvergensi regulasi domestik untuk mengakomodasi tiga dari BEPS 4 Minimum Standards lainnya, yakni praktik berbahaya dalam pajak (harmful tax practices), penyalahgunaan perjanjian pajak (tax treaty abuse), dan penyelesaian sengketa (dispute resolution).
“Intinya WP itu harus transparan dan terbuka. Transaksi antar grup di antara mereka itu benar-benar mencerminkan nilai wajar. Itu tujuannya. Supaya nanti kita bisa lihat bahwa pajak yang dia bayar sudah sesuai dengan yang seharusnya,” jelasnya.
(Baca Juga: Pemerintah Siapkan Plafon KUR Khusus Sektor Pertanian)