Rapat Paripurna DPR, 20 Juli 2016, mengesahkan 9 anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Baru sebulan lewat beberapa hari sejak anggota KPI itu disahkan DPR, kini muncul ‘gugatan’ terhadap mekanisme pemilihan anggota KPI.
Beberapa orang warga negara mengajukan judicial review Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi. Langkah ini ditempuh Alem Febri Sonni, Fajar Arifilianto, Achmad Zamzami, Arie Andyka, dan Muh. Ashry karena merasa hak konstitusional mereka dirugikan.
“Pelanggaran hak konstitusional Para Pemohon akibat penafsiran yang keliru terhadap Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 61 ayat (2) UU Penyiaran,” ujar Arie Andyka dalam sidang pendahuluan yang diketuai I Dewa Gede Palguna di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Kamis (25/8).
Pasal 10 ayat (2) UU Penyiaran menyebutkan “Anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan KPI Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.” Sedangkan, Pasal 61 ayat (2) disebutkan “Untuk pertama kali pengusulan anggota KPI diajukan oleh Pemerintah atas usul masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.”
Arie mengungkapkan dirinya bersama pemohon lain yang merupakan calon anggota KPI periode 2016-2019 merasa tersingkir akibat keputusan subjektif panitia seleksi. Mereka menduga penilaian panitia seleksi bukan didasarkan hasil uji kepatutan dan kelayakan.
Ia merasa ada kekeliruan dalam proses seleksi calon anggota KPI yang tidak sesuai tafsir kedua pasal tersebut. Dalam proses seleksi calon anggota KPI pusat periode kelima masih saja melibatkan Pemerintah sejak awal seleksi. Padahal, sesuai Pasal 61 ayat (2) UU Penyiaran, Pemerintah hanya terlibat dalam pembentukan KPI periode pertama. Artinya, Pemerintah seharusnya tidak lagi terlibat dalam proses pengusulan atau pemilihan anggota KPI periode kedua dan seterusnya agar KPI bisa bersifat independen.
“Terlebih, kedua pasal tersebut tidak mengatur mekanisme panitia seleksi. Kalaupun ada DPR dan DPRD yang membentuk panitia seleksi yang bertugas memeriksa kelengkapan berkas administrasi calon yang diusulkan masyarakat,” paparnya.
Tak hanya itu, panitia seleksi menambah persyaratan batas usia minimum dan maksimum yang sebenarnya tidak dipersyaratkan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Penyiaran. “Kami telah dirampas haknya akibat kesalahan prosedural dalam proses seleksi KPI pusat periode 2016-2019. Ini mengancam prinsip-prinsip demokrasi sebagai landasan utama UU Penyiaran,” tegasnya.
Untuk itu, para pemohon meminta MK memberi tafsir atas berlakunya Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 61 ayat (2) agar sejalan dengan UUD 1945 sekaligus melarang adanya tafsir yang berbeda. Intinya, pemohon meminta agar Pasal 10 ayat (1) UU Penyiaran ditafsirkan bersyarat sepanjang setiap calon anggota KPI dipilih atas dasar usulan masyarakat yang memenuhi syarat administratif dan dapat digugurkan setelah uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR.
Pemohon juga meminta agar MK menyatakan Pasal 61 ayat (2) UU Penyiaran inkonstitusional bersyarat “Sepanjang frasa ‘pertama kali’ dimaknai Pemerintah tidak dapat terlibat dalam proses seleksi anggota KPI setelah pembentukan KPI periode pertama,” begitu disebut dalam petitum permohonan.
Anggota Majelis Panel MK, Aswanto, mempertanyakan petitum permohonan hanya calon KPI Pusat yang diuji DPR? “Kalau ini dikabulkan, bagaimana dengan proses pemilihan calon KPI Daerah lewat pengujian di DPRD? Ini hanya KPI pusat, nanti proses seleksi KPI Daerah hilang. Ini coba direnungkan lagi,” kata Aswanto.
Dia mengingatkan MK bukanlah pembuat Undang-Undang yang bisa mengadili implementasi norma, tetapi hanya mengadili konstitusional norma yang bertentangan dengan UUD 1945. “Tolong yakinkan kami bahwa norma yang diuji memang menyebabkan hak konstitusional pemohon dirugikan agar bisa dikabulkan. Ini yang paling penting untuk dicermati,” sarannya.
Anggota panel lainnya, Maria Farida Indrati, meminta permohonan menguraikan pertentangan norma yang diuji dengan pasal-pasal dalam UUD 1945. “Yakinkan kami dua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Jadi, bukan uraian pelaksanaan/implementasi dari kedua pasal tersebut,” saran hakim MK yang juga Guru Besar FH Universitas Indonesia itu.
Sekadar informasi, anggota KPI periode 2016-2019 yang dikukuhkan DPR pada 20 Juli lalu adalah Yuliandre Darwis, Hardly Stefano Fenelon Pariela, Mayong Suryo Laksono, Dewi Setyarini, Sujarwanto Rahmat Muh. Arifin, Nuning Rodiyah, H. Obsatar Sinaga, Agung Suprio, dan Ubaidillah.