Kebijakan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut pada penghujung tahun lalu menuai kontroversi. Pasalnya, kebijakan yang mengharuskan lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter harus dikembalikan ke fungsi lindung alias dihutankan kembali sulit diterapkan, karena sudah banyak perkebunan kelapa sawit milik petani dan juga korporasi yang memiliki lahan gambut dengan kedalaman di atas tiga meter.
Beleid ini juga tetap memuat soal pembatasan muka air tanah sebesar 0,4 meter untuk tanaman uang dibarap di lahan gambut menui protes. Pasalnya, bila di lahan gambut harus memiliki 0,4 meter permukaan air, maka tanaman sawit dan kayu akasia misalnya sulit tumbuh karena akarnya sudah tergenang oleh air. Kondisi ini menimbulkan dilema bagi petani dan pelaku usaha.
Pakar tanah dan gambut IPB Basuki Sumawinata kebijakan pemerintah yang menetapkan batas muka air gambut paling rendah 0,4 meter dari permukaangambut berpotensi mematikan kegiatan budidaya tanaman unggulan seperti tanaman kayu akasia dan kelapa sawit. Menurutnya, kalau pembatasan ini dijalankan, itu berarti setiap pengelola tanah di gambut harus membaut ketersediaan air di lahan mereka sekitar 0,1-0,2 meter karena untuk mengantisipasi musim kemarau.
“Kalau menjaga ketinggian air 40 cm, maka untuk mencegah tiga bulan musim kemarau, maka ketinggian air harusnya 10 cm hingga 20 cm.” ujarnya, Kamis (26/1).
Dengan kondisi seperti itu, maka tanaman seperti sawit dan pohon akasia sulit ditanam lagi di lahan gambut karena akrnya yang dalam. Padahal maksud dari pemerintah sebenarnya adalah untuk mencegah kebakaran hutan. Pasalnya,tidak ada jaminan ketika gambut itu basah maka tidak terjadi kebakarang. Sebab yang kerap selama ini terbakar adalah ranting kayu yang tumbuh di atas lahan gambut.
Kemudian kebijakan pemerintah yang mengharuskan lahan gambut yang lebih dari tiga meter harus kembali menjadi hutan, maka darah Riau yang paling menderita. sebab di Riau ada lebih dari 3 juta hektare (ha) lahan gambut yang sudah digunakan dan lebih dari 70% kedalaman lahan gambutnya lebih dari tiga meter. “Artinya kebijakan sebenarnay tidak bisa diterapkan, kalaupun diterapkan pasti akan pilih-pilih,” terangnya.
Nazir Fuad Kepala Badan Restorasi Gambut mengatakan PP ini tidak berlaku surut. Namun PP ini dikeluarkan untuk menjalankan instruksi dari Presiden Joko Widodo yang meminta tidak ada lagi pembukaan lahan gambut baru untuk perkebunan. Artinya bila ada lahan gambut yang sudah terlanjur ditanami sawit maka silahkan dilanjutkan. Tapi bagi lahan yang belum digarap, maka diminta untuk tidak ditanami dulu. “Sekarang kami sedang memverifikasi apakah lahan gambut tersebut masuk ke dalam lahan lindung atau budidaya,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) tengah mempersiapkan peraturan menteri untuk menerapkan PP tersebut. Karena itu, ia meminta agar para pengusaha di areal gambut tidak terlalu khawatir soal kebijakan ini. Karena ini dilakukan untuk mengantisipasi meluasnya pembukaan lahan gambut yang bukan pada tempatnya.
(Baca Juga: DPR Ancam Gunakan Hak Interpelasi Jika PP 72/2016 Tak Dibatalkan)