Terkadang dalam menangani sebuah perkara, hakim dapat menemukan keraguannya. Jika ini yang terjadi, penerapan asas In Dubio Pro Reo menjadi jawabannya. Asas ini kerap digunakan Mahkamah Agung (MA) dalam memutus perkara.
Menurut kamus hukum yang ditulis Simorangkir et.al. (hlm. 73), frasa in dubio pro reo diartikan sebagai “jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa”.
Sebagai catatan, MA dalam Putusan Mahkamah Agung No.33 K/MIL/2009 yang salah satu pertimbangannya menyatakan, “asas In Dubio Pro Reo yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan”.
Selain itu, MA juga pernah berpendapat mengenai hubungan antara hukum acara pidana dengan asas in dubio pro reo pada Putusan Mahkamah Agung No.2175/K/Pid/2007 yang salah satu pertimbangannya menyatakan:
“…sistem pembuktian di negara kita memakai sistem “Negatief Wettelijk”, yaitu keyakinan yang disertai dengan mempergunakan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang; Hal ini dapat terlihat padaPasal 193 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperolehkeyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Pertimbangan Putusan yang sama juga menyebutkan:“Suatu asas yang disebut “InDubioProReo” yang juga berlaku bagi hukum pidana. Asas ini tidak tertulis dalam Undang-Undang Pidana, namun tidak dapat dihilangkan kaitannya dengan asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (“Geen Straf Zonder Schuld”) atau “Anwijzigheid van alle Schuld’ yang sudah menjadi yurisprudensi konstan dan dapat diturunkan dariPasal 182 ayat (6) KUHAP”.
Pasal 182 ayat (6) KUHAP itu sendiri menyebutkan, “Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan, putusan diambil dengan suara terbanyakdan jika ketentuan tersebu tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.”
Dari putusan MA tersebut, maka dapat ditarik bahwa penerapan asas in dubio pro reo sejalan dengan pengaturan Pasal 183 dan Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Pasal 183 KUHAP mengharuskan hakim yang hendak menjatuhkan putusan pidana untuk memperoleh keyakinan berdasarkan alat bukti bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.
Sedangkan Pasal 182 ayat (6) KUHAP mengatur keadaan bila proses pengambilan putusan dalam musyawarah majelis hakim tidak dicapai hasil pemufakatan bulat dan tidak dapat diambil putusan berdasarkan suara terbanyak, karena pendapat anggota majelis hakim berbeda-beda, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Untuk itu, praktik asas in dubio pro reo ini digunakan bila hakim berdasarkan alat bukti yang ada masih memiliki keragu-raguan mengenai bersalah atau tidaknya terdakwa. Bila hakim masih memiliki keraguan tersebut, maka berlaku Pasal 183 KUHAP yang melarang hakim menjatuhkan pidana bila berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia tidak memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Bahkan, dalam KUHAP juga dibuka peluang, apabila keragu-raguan muncul dari hakim saat ingin menjatuhkan pidana, sesuai Pasal 191 KUHAP hakim harus memutus terdakwa bebas dari dakwaan. Pasal itu berbunyi, “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.