Siapa sebenarnya yang dimaksud dengan teroris? Jika tak ada definisi yang jelas, yang muncul stigmatisasi dan penilaian subjektif aparat. Aparat bisa saja menangkap, menahan, atau menembak seseorang dengan dalih orang bersangkutan adalah teroris. Padahal, per definisi belum tentu masuk kualifikasi teroris. Mungkin juga terjadi orang yang masuk kualifikasi teroris tetapi tak diperlakukan aparat sebagai pelaku terorisme.
Definisi adalah hal paling mendasar dalam merumuskan suatu Undang-Undang. Itu sebabnya, Ketua Pansus RUU Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, R. Muhammad Syafi’i, mengatakan definisi itu adalah pintu masuk untuk mengatur materi muatan selanjutnya.
Masalahnya, kata dia, selama ini aparat menggunakan kriteria yang tak jelas menuduh seseorang sebagai teroris. Ukuran-ukuran teroris itu seharusnya jelas dalam Undang-Undang. Jika tidak, peluang pelanggaran HAM akan terus terbuka. Sayangnya, definisi teroris saja tak ditemukan dalam UU No. 15 Tahun 2003. Demikian pula dalam UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. “Yang sering terjadi adalah stigma,” ujar politisi asal Sumatera Utara itu.
Saat mencari pembicara seminar Konsolidasi Hukum untuk Memaksimalkan Pemenuhan Hak-Hak Korban Tindak Pidana’ di Jakarta, Kamis (08/9). R. Muhammad Syafi’i juga menyinggung masalah definisi itu secara terbuka.
Menurut Romo, begitu ia biasa disapa, Kamus Bahasa Indonesia saja punya definisi tentang teroris. Masa Undang-Undang tak membuat definisi, padahal tuduhan teroris dipakai untuk menembak mati atau menahan seseorang. Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Balai Pustaka, misalnya, mengartikan teroris sebagai orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik.
Romo menjelaskan dalam proses pembahasan RUU Terorisme tersebut, Pemerintah awalnya tak setuju membuat definisi. Cuma, anggota Pansus bersikukuh harus jelas parameter untuk menuduh seseorang sebagai teroris. Caranya, ya membuat definisi yang jelas. Jangan sampai aparat menuduh seseorang teroris padahal apa yang dilakukan tak menimbulkan rasa takut dan tak ada kekerasan; sebaliknya seseorang yang melakukan aksi kekerasan dan menimbulkan rasa takut yang luar biasa tak disebut teroris.
Namun dalam pembahasan-pembahasan informal, kata dia, sudah ada kesepahaman untuk membuat definisi teroris. “Dalam pertemuan informasi, sudah ada kesepahaman,” ujarnya di Jakarta, Kamis (8/09).
Kejelasan definisi merupakan salah satu pintu masuk bagi DPR untuk mengawasi kerja-kerja pemberantasan terorisme, khususnya Densus 88 Mabes Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pintu lain, kata Syafii, adalah pengawasan.
Dalam proses pembahasan RUU Terorisme, DPR bersikukuh membentuk rezim pengawasan. Dewan memberikan banyak contoh betapa pencegahan terorisme telah menimbulkan ekses pelanggaran HAM. Kasus Sriyono salah satu yang terungkap ke permukaan. “Masih banyak contoh lain,” kata dia.
Di forum yang sama, Kasubdit Perlindungan Hukum BNPT, Suroyo, lebih menyoroti persoalan pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban tindak pidana terorisme. Mekanismenya selama ini ternyata tak mudah. Undang-undang menyebut harus ada putusan pengadilan. Karena itu, ia meminta agar mekanisme pelaksanaan pemenuhan-hak korban dipertajam. “(Aturan) pelaksanaannya dipertajam,” ujarnya saat memberikan tanggapan