Nasi sudah menjadi bubur. Seperti itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan seseorang yang pernah melakukan kesalahan dan membawanya kepada hal yang tidak diinginkan, misalnya dilaporkan kepada pihak berwenang.
Pihak pelapor tentu kecewa dengan perbuatan yang dilakukan orang tersebut sampai harus membawa hal ini kepada aparat penegak hukum. Di luar proses ini, besar kemungkinan pelapor memaafkan si terlapor atas kejadian yang dilakukan terhadap pelapor sebelumnya. Pertanyaannya, bagaimana proses laporan tersebut meski pelapor telah memaafkan terlapor?
Menurut Diana Kusumasari sejatinya, ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara pidana, yakni delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa, perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Sehingga, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.
Berbeda dengan delik biasa, delik aduan itu sendiri hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Bahkan, penuntutan terhadap delik aduan tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan atau korban. Namun, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila diantara mereka telah tejadi suatu perdamaian.
Pasal 74 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu tersebut mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia. Pasal 75 aturan yang sama menjelaskan bawa orang yang mengajukan tersebut berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan tersebut diajukan.
Namun, terhadap pengaduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi. Kecuali khusus untuk kejahatan zinah dalam Pasal 284 KUHP, pengaduan itu dapat dicabut kembali selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan. Pada praktiknya, sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim biasanya masih menanyakan kepada pengadu apakah ia tetap pada pengaduannya itu. Bila tetap, barulah dimulai pemeriksaannya.
Delik Aduan Terbagi Lagi Menjadi Dua:
Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.
Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.
Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411.
Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapa yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus bersembunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.
*Disarikan dari buku R. Soesilo berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dengan kata lain, terhadap pelaku delik aduan hanya bisa dilakukan proses hukum pidana atas persetujuan korbannya. Jika pengaduannya kemudian dicabut selama dalam jangka waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan, maka proses hukum akan dihentikan. Namun, setelah melewati tiga bulan dan pengaduan itu tidak dicabut atau hendak dicabut setelah melewati waktu tiga bulan, proses hukum akan dilanjutkan. Pengaduan itu dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan.
Untuk diketahui, pasca Bank Indonesia menerbitkan 11 pecahan uang Rupiah Tahun Emisi 2016 pada Senin (19/12) kemarin, salah seorang lewat akun twiternya sebutlah ‘DE’ mempersoalkan lima gambar pahlawan dalam uang rupiah baru yang disebutnya sebagai kafir. ‘DE’ lewat akun twitter-nya menilai komposisi pahlawan di uang baru itu dari segi agama tidak ideal karena tidak mengakomodir salah satu agama sebagai mayoritas.
“Dari ratusan pahlawan terpilih 5 dari 11 adalah pahlawan kafir,” tulis ‘DE’ lewat akunnya.
Selain menuai komentar, cuitan itu pun dipersoalkan oleh Forum Komunikasi Anak Pejuang Republik Indonesia (Forkapri) sekaligus melaporkan ‘DE’ ke Polda Metro Jaya pada Rabu (19/12). Salah seorang dari Forkapri, Ahmad Zaenal Efendi melaporkan ‘DE’ lantaran menyebarkan rasa kebencian atau permusuhan individu (SARA) melalui media elektronik.
Dalam Laporan Polisi Nomor: LP/6252/XII/2016/PMJ/Dit.Reskrimsus tertanggal 21 Desember 2016, Terlapor ‘DE’ dilaporkan atas tuduhan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ancaman pidananya sendiri yakni pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar rupiah.