Belakangan ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering menuai kritik perihal kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Mengingat dalam beberapa operasi tangkap, petugas KPK tidak melakukan penyitaan uang tunai sebagai barang bukti.
Tak heran jika beberapa pihak, khususnya para tersangka, mengartikan bahwa OTT seharusnya dilakukan saat terjadi transaksi antara pemberi dan penerima suap. Kasus tersebut salah satunya terjadi dalam OTT terhadap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Meski pada hari yang sama, empat tersangka dalam kasus tersebut ditangkap di tiga lokasi dan waktu yang berbeda. Tak hanya itu, KPK juga tidak menemukan uang tunai sebagai bukti transaksi suap.
Menurut Miko Ginting, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), secara hukum tidak terlalu berarti apakah Patrialis terkena OTT atau tidak. Lanjutnya, pada intinya penangkapan adalah upaya paksa penyidik, yakni pengekangan sementara waktu terhadap seseorang, dengan bukti yang cukup guna kepentingan penyidikan.
“Intinya, secara hukum PA (Patrialis) telah dikenakan upaya paksa penangkapan,” kata Miko, Rabu (1/2/2016). Ia menambahkan, dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, suap tidak selalu berupa uang tetapi juga janji.
Sementara itu Febri Diansyah, Juru Bicara KPK mengatakan, dalam kegiatan OTT KPK mengacu pada Pasal 1 angka 19 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjelaskan empat kondisi alternatif yang dapat dimaknai sebagai tangkap tangan.
Dua di antaranya, tangkap tangan dapat dilakukan saat peristiwa pidana terjadi, atau beberapa saat setelah peristiwa pidana terjadi. “Dalam konteks ini, OTT dilakukan KPK beberapa saat setelah peristiwa pidana terjadi,” Ungkap Febri.
Untuk diketahui, dalam kasus Patrialis, indikasi transaksi terjadi di Lapangan Golf Rawamangun. Sebelum dilakukan tangkap tangan, penyelidik KPK sudah mengetahui adanya pertemuan antara Patrialis dan Kamaludin yang diduga sebagai perantara suap.
Transaksi yang dimaksud bukanlah penyerahan uang dalam bentuk fisik. Menurut Febri, sesuai undang-undang, transaksi dapat dimaknai adanya suatu kesepakatan pemberian hadiah atau janji.
Salah satu bukti yang meyakinkan, menurut Febri, saat ditemukan draf putusan uji materi dalam penangkapan Kamaludin di Lapangan Golf Rawamangun. Para Rabu (25/1/2017) pagi, Patrialis sempat menemui Kamaludin di Lapangan Golf.
Patrialis disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut digunakan kepada hakim yang menerima hadiah atau janji yang diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan untuk diadili. KPK menduga Patrialis telah menerima pemberian 20.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura. Pemberian dilakukan sebelum terjadi operasi tangkap tangan.
“Kami juga pernah melakukan OTT dan tidak ditemukan uang karena ada transfer melalui rekening. Tetapi, ketika sudah ada janji dan bisa membuktikan komitmen, maka indikasi janji sudah ada,” Imbuh Febri.