Pengurangan anggaran hingga mencapai 25 persen, membuat Komisi Yudisial harus selektif memilih kasus untuk diawasi.
“Ketika hakimnya semakin sering dilaporkan dugaan pelanggaran dan ada permohonan pemantauan terhadap persidangan itu yang akan kita prioritaskan,” kata Juru Bicara Komisi Yudisial Farid Wajdpada saat buka puasa bersama wartawan di Jakarta, Selasa, 14 Juni 2016.
Anggaran Komisi Yudisial akan dikurangi 25,8 persen, yaitu dari Rp 148,8 miliar menjadi Rp 110,3 miliar per tahun.
Menurut Farid, Komisi Yudisial akan memprioritaskan pengawasan pada kasus yang lebih menyinggung kepentingan publik. Terutama, pada kasus yang menyorot dimensi ekonomi dan dimensi perilaku hakimnya.
“Jadi tidak semua laporan yang masuk tahun ini akan kita periksa kita akan lihat dampaknya seperti apa,” kata Farid. Sampai Juni 2016, ada sekitar 600 laporan yang masuk ke Komisi Yudisial. Dia mengatakan bila anggaran dipotong tentu akan dilihat mana prioritas dan mana yang ditunda penyelesaiannya.
Komisi penegak etika para hakim ini mengaku telah mengkomunikasikan ke Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah terkait rencana pemangkasan anggaran itu.
Farid menilai ini bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam penegakan hukum. Anggaran Komisi Yudisial yang dipotong 25,8 persen itu pertanda bahwa pilihan penegakan hukum dengan pendekatan perilaku hakim tentu akan menjadi minimalis. “Bagaimanapun akan berpengaruh pada proses pengawasan dan kinerja hakim,” ujar dia