Dalam rangka mengubah sampah sebagai sumber energi dan meningkatkan kualitas lingkungan, serta untuk meningkatkan peran listrik berbasis energi baru terbarukan, pemerintah memandang perlu mempercepat pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah pada beberapa kota.
Atas pertimbangan itulah, Presiden Joko Widodo pada tanggal 13 Februari 2016 menandatangani Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar. Perpres tersebut digugat para aktivis lingkungan hidup pada 18 Juli 2016. Hasilnya, MA mengabulkan gugatan tersebut.
Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa). MA menilai peraturan itu bertentangan dengan UU terkait.
Seperti dilansir dari website MA, Jumat (23/2) Majelis Hakim mengatakan, “Menyatakan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,”
Duduk sebagai ketua majelis hakim agung Supandi dengan anggota hakim agung Is Sudaryono dan hakim agung Yosran. “Pengaturan pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah dalam Pasal 6 objek permohonan keberatan hak uji materiil yang mana pengurusan izin lingkungan dilakukan bersamaan dengan kegiatan konstruksi dan pengurusan izin mendirikan bangunan guna percepatan tidak sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, selain itu juga bertentangan dengan kerangka hukum perlindungan lingkungan hidup yaitu wajib melalui Amdal/UKLUPL terlebih dahulu sebelum diterbitkan izin lingkungan,” Cetus Majelis.
Hal tersebut terangkum dalam Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, objek hak uji materiil telah mengingkari prinsip pokok dalam hukum perizinan.
“Yaitu diberikan sebelum usaha atau kegiatan berjalan dan tidak mengindahkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta menimbulkan ancaman serius yang tidak dapat dipulihkan terhadap lingkungan hidup,” terrang majelis.
Selain itu, ketentuan Pasal 40 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2009 dapat diartikan bahwa oleh karena izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha/kegiatan maka konsekuensinya sebelum dilakukan kegiatan/diperoleh izin usaha terlebih dahulu harus dipenuhi adanya izin lingkungan. Oleh karena itu ketentuan Pasal 6 ayat 2 Perpres No 18 Tahun 2016 yang antara lain menentukan bahwa kegiatan untuk memulai konstruksi dapat langsung dilakukan secara paralel dengan pengurusan izin mendirikan bangunan dan izin lingkungan telah melanggar maksud dan tujuan substansi norma yang terkandung dalam Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009.
“Bahkan pejabat tata usaha negara yang memberikan izin usaha dan/atau kegiatan PLTSa tanpa didahului izin lingkungan diancam dengan sanksi pidana sesuai Pasal 111 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu penjara 3 tahun dan denda maksimal Rp 3 miliar,” papar majelis.
Dengan demikian, menurut MA, objek hak uji materiil tidak sejalan dengan paradigma pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang menjadikan instrumen izin lingkungan merupakan proses berantai dari aspek prosedur atau aktivitas, orientasi kebijakan, dan dampak pengiring dari adanya usaha atau kegiatan dimaksud. Instrumen izin lingkungan ini merupakan tindakan hukum yangbersifat preventif, proaktif, dan represif.
“Objek permohonan keberatan hak uji materiil bertentangan dengan UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,” kata majelis memaparkan alasan lain pembatalan Perpres itu.
Secara substansi Pasal 1 angka 5 jo Pasal 11 ayat (1) huruf a, karena penerapan Pasal 1 angka 3 objek hak uji materiil merupakan peraturan untuk percepatan pembangunan listrik berbasis sampah yang membatasi ruang lingkup pada teknologi thermal process meliputi gasifikasi, incinerator dan pyrolysis yang dapat menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan manusia karena dapat menghasilkan dioxin, furan, merkuri, timbal, cadmium, berdasarkan hasil riset internasional.
“Sedangkan dalam Pasal 1 angka 5 jis Pasal 4 dan Pasal 11 ayat (1) huruf a, mengatur tentang sistem pengelolaan sampah yang seharusnya pengelolaan sampah sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan serta membebankan kewajiban kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan,” terang majelis.
Selain itu, Perpres tersebut juga bertentangan dengan UU Nomo 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 163 ayat (3). Karena teknologi thermal dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang ditimbulkan residu sisa pembakaran PLTSa.
“Objek permohonan keberatan hak uji materiil bertentangan denganPasal 5 huruf d dan e UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengenai asas dapat dilaksanakan, karena objek hak uji materiil a quo yang berpotensi residu pembakaran yang berbahaya bagi kesehatan ditujukan justru pada beberapa kota besar yang justru padat penduduknya, seperti Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar, dengan demikian ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan,” papar MA menjelaskan alasan keempat pembatalan Perpres itu.