Upaya memperbaiki citra yang dilakukan Mahkamah Konstitusi runtuh akibat tertangkapnya hakim konstitusi Patrialis Akbar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan status tersangka terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. Diduga, Patrialis terlibat kasus suap judicial review atau uji materi Undang-Undang tentang peternakan dan kesehatan. Tangkap tangan tersebut dilakukan tim satgas KPK pada Rabu 25 Januari 2017.
Kasus hakim konstitusi, Patrialis Akbar harus jadi pelajaran berharga, agar lebih berhati-hati dalam menseleksi calon hakim. Apalagi calon hakim konstitusi. Jangan sampai terulang lagi, ada seleksi berbau politik dagang sapi. Saatnya, calon hakim ‘politisi’ dibatasi, tapi jangan sampai dilarang sama sekali. Pendapat tersebut disampaikan staf pengajar hukum tata negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ismail Hasani, di Jakarta, Rabu (8/2).
Ismail menuturkan, meskipun sudah dua hakim yang bermasalah berasal dari kalangan politisi, yakni Akil Mochtar dan Patrialis, namun bukan berarti tak ada hakim ‘politisi’ yang berintegritas. Mahfud MD, meski sering disebut mewakili kalangan akademisi, namun punya kaitan erat dengan PKB. “Mahfud punya latar belakang PKB, tapi dia menunjukan performa dan integritas tinggi,” kata Ismail.
Lanjut Ia menambahkan, calon hakim dari kalangan politisi tak perlu dilarang, tapi cukup dibatasi. Misalnya dengan batasan tidak tercatat sebagai pengurus partai sekurang-kurangnya dalam lima tahun terakhir. Namun yang utama yang perlu disikapi adalah model rekrutmen yang terbuka dan akuntabel. Hal ini diharapkan bisa menghasilkan calon yang berkualitas. Maka dari itu panel ahli sebagai mekanisme pemilihan adalah pilihan paling rasional.
“Isu lainnya adalah penguatan pengawasan pada hakim MK. Komisi Yudisial harus kembali diperkuat agar kewenangannya bisa menjangkau para hakim konstitusi,” Jelas Ismail.