Program pengampunan pajak telah membuat masyarakat resah. Sejumlah kelompok masyarakat sudah mendaftarkan pengujian UU Pengampunan Pajak ke Mahkamah Konstitusi. Muhammadiyah juga sudah memberi sinyal menempuh upaya yang sama. Kekhawatiran masyarakat pada intinya program pengampunan pajak juga akan menyasar seluruh warga. Jadi, tak hanya mereka yang punya simpanan di luar negeri, sebagaimana niat awal program pengampunan pajak.
Untunglah, Presiden Joko Widodo merespons kegelisahan masyarakat terkait pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2016. Presiden meminta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluruskan persepsi masyarakat agar menerima informasi yang benar dan akurat.
Respons atas kegelisahan itu, DJP menerbitkan dua beleid penting, yakni Peraturan Dirjen Pajak No. 11/PJ/2016 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Mengenai Pelaksanaan UU Pengampunan Pajak, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2016 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2016 tentang Dokumen dan Pedoman Teknis Pengisian Dokumen dalam rangka Pelaksanaan Pengampunan Pajak.
Dirjen Pajak, Ken Dwijugeasteadi menyampaikan kedua beleid itu di Jakarta, Selasa (30/8). Ia menegaskan kedua beleid dikeluarkan untuk memastikan baik proses maupun hasil amnesti pajak sesuai dengan yang diharapkan.
Salah satu yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak adalah ‘pengecualian’ program tax amnesty terhadap kelompok masyarakat tertentu. Beleid itu sebenarnya menggunakan kalimat ‘dapat tidak menggunakan haknya untuk mengikuti pengampunan pajak’. Siapa saja mereka?
Pasal 1 angka 2 Peraturan Dirjen Pajak menyebut orang pribadi seperti petani, nelayanan, pensiunan, tenaga kerja Indonesia (TKI), atau subjek pajak warisan yang belum terbagi. Tetapi ada syaratnya! Penghasilan mereka pada tahun pajak terakhir di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), yaitu 54 juta rupiah per tahun, atau 4,5 juta per bulan.
Selain mereka yang disebut di atas, yang dapat tidak menggunakan haknya untuk mengikuti pengampunan pajak adalah WNI yang telah bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka 12 bulan. Itu pun kalau mereka tidak punya penghasilan dari Indonesia. Orang semacam ini merupakan subjek pajak luar negeri.
“Sanksi Pasal 18 ayat (2) UU Amnesti Pajak yang berbunyi nilai harta tersebut diperlakukan sebagai penghasilan pada saat ditemukan oleh DJP, dinyatakan tidak berlaku bagi masyarakat/subyek pajak tersebut,” kata Ken.
Ken Dwijugeasteadi menegaskan pada prinsipnya setiap Wajib Pajak (WP) berhak mendapatkan pengampunan pajak. Artinya, program ini merupakan pilihan bagi WP yang ingin memanfaatkannya. Bagaimana jika WP tidak memanfaatkan pengampunan pajak ini? Jika WP tidak ingin memanfaatkan program ini, WP tetap dapat melaksanakan hak dan kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, termasuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Ditambahkan Dirjen Pajak, terhadap harta yang diperoleh dari penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan atau harta yang diperoleh dari penghasilan yang bukan objek Pajak Penghasilan dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan, dapat dilaporkan dengan dua cara.
Cara pertama, dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan telah disampaikan, WP dapat melakukan pembetulan SPT Pajak Penghasilan. Cara kedua, dalam hal SPT Pajak Penghasilan belum disampaikan, WP dapat melaporkan harta tersebut dalam SPT Pajak Penghasilan.
Ken menambahkan, atas harta yang diperoleh sebelum tahun pajak 2011 dilaporkan dalam pembetulan SPT Tahunan 2011, dan untuk SPT Tahunan 2012 dan seterusnya menyesuaikan daftar harta SPT Tahunan 2011, dan atas harta yang diperoleh tahun 2011 hingga 2015 dilaporkan sesuai dengan tahun perolehan harta tersebut.
Nilai wajar harta selain kas atau setara kas juga disinggung dalam beleid. Sesuai UU Pengampunan Pajak nilai wajar harta selain kas atau setara kas yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta adalah sesuai dengan penilaian Wajib Pajak dan tidak akan dilakukan koreksi atau pengujian oleh Ditjen Pajak
Mempermudah pengisian
Peraturan Dirjen Pajak No. 10 Tahun 2016 mengatur tentang kemudahan masyarakat dalam mengisi formulir. Peraturan ini merupakan revisi dari Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-07/PJ/2016 tentang Dokumen dan Pedoman Teknis Pengisian Dokumen dalam Rangka Pelaksanaan Pengampunan Pajak.
Ken mengatakan aturan tersebut menekankan harta dan utang yang telah dilaporkan dalam surat pernyataan harta tidak perlu dirinci, namun cukup dituliskan jumlah total harta atau utang tersebut. Mekanisme ini ditempuh agar pengisian formulir tidak bertele-tele. “Cukup dituliskan total saja. Gampang kan,” pungkasnya.