Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun pedoman mengenai aturan main bagi pelaku usaha jasa keuangan berbasis online (Financial Technology/Fintech). Nantinya, pedoman tersebut akan dituangkan melalui Peraturan OJK (POJK) yang ditargetkan akan selesai pada akhir tahun 2016 mendatang.
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan non Bank (IKNB) II OJK, Dumoly F Pardede, mengatakan, pihaknya sangat konsen dengan perkembangan yang terjadi di sektor keuangan terutama mengenai para pelaku Fintech. OJK juga telah menerima sejumlah masukan baik dari pelaku Fintech maupun pelaku usaha yang telah lama berkecimpung di industri keuangan demi kepentingan penyusunan rancangan POJK tentang Fintech.
“Harapannya aturan ini tidak terlalu kuat mengikat, tapi tidak terlalu longgar. Tujuannya agar tidak menimbulkan persaingan yang sengit antar pelaku usaha,” ujar Dumoly dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (25/8).
Dari masukan Asosiasi Fintech Indonesia yang diterima, OJK memetakan setidaknya terdapat tiga macam Fintech yang berkembang di Indonesia. Pertama, pelaku sektor keuangan di mana pelaku Fintech tersebut adalah pelaku langsung di sektor jasa keuangan yang menyelenggarakan pembiayaan, asuransi, broker asuransi atau agen asuransi. Bahasa populernya, pelaku Fintech dalam kategori ini seperti ‘bank mini’ yang bisa saja memberikan pinjaman dalam jumlah tertentu.
Kedua, pelaku intermediasi di mana pelaku Fintech sebatas menjadi supporting dari pelaku sektor jasa keuangan yang telah ada. sebagai gambaran, pelaku Fintech di sini hanya menjadi wadah bagi produk-produk para pelaku sektor jasa keuangan. Contohnya, portal yang diisi dengan polis-polis dari sejumlah perusahaan asuransi. Pelaku Fintech ini terintegrasi langsung dengan sistem dari pihak pelaku sektor jasa keuangan. Dan ketiga, pelaku baru atau start-up Fintech.
Selain itu, dari hasil masukan asosiasi kepada OJK, setidaknya ada enam poin yang coba diatur dalam POJK tentang Fintech. Keenam poin itu, antara lain mengenai kelembagaan, kepengurusan, cakupan usaha, pembinaan dan pengawasan, kewajiban pelaporan, serta permodalan.
Ambil contoh misalnya mengenai permodalan, rapat internal IKNB OJK akhinya menetapkan bahwa nominal maksimum permodalan untuk pelaku Fintech start-up antara Rp1 miliar hingga Rp2 miliar. “Asumsi kami itu bisa ada lima investor, masing-masing Rp200 juta rupiah,” kata Dumoly.
Dikatakan Dumoly, pada prinsipnya OJK ingin menyederhanakan permodalan kepada semua pelaku Fintech. Namun, sulit apabila pelonggaran modal itu dilakukan kepada start-up asuransi. Menurutnya, jasa asuransi mesti tetap mengaju pada batas minimum modal Rp100 miliar. Sebab, dikhawatirkan hal itu berdampak pada gagal bayar klaim pemegang polis oleh pihak asuransi.
“Sulit bikin asuransi jadi start-up, karena deposit taking melalui premi. Kalau dia failed, bagaimana membayar kewajiban kepada klaim, itu berbahaya. Sehingga dia harus benar-benar insurance net. Kecuali dibatasi hanya jual satu produk asuransi mikro,” paparnya.
Sementara itu, mengenai kewajiban pelaporan, nantinya setiap pelaku Fintech yang berkaitan dengan sektor jasa keuangan wajib mendaftar kepada OJK. Khusus pelaku Fintech yang aktivitasnya sebagai penyedia jasa keuangan seperti payment gateway, selain harus mendaftar ke OJK juga mesti mendapat izin dari pihak Bank Indonesia (BI). Selain wajib mendaftar kepada OJK, pelaku Fintech yang bersinggungan dengan perdagangan atau UMKM, juga mesti melapor kepada kementerian terkait seperti Kementerian Perdagangan atau Kementerian Koperasi dan UKM.
Disebutkan Dumoly, hingga saat ini OJK telah menerima laporan dari 27 pelaku Fintech. Total pelaku Fintech yang diketahui OJK saat ini berkisar 71 Fintech. Namun, ia menegaskan bahwa 27 Fintech sebatas melapor dan bukan dalam kapasitas melakukan pendaftaran kepada OJK.
Sebab, saat ini OJK masih belum memiliki kewenangan mengeluarkan pendaftaran kepada pelaku Fintech. Selain itu, rancangan POJK tentang Fintech rencananya akan diberlakukan tahun kedua. Artinya, ada masa transisi selama dua tahun untuk penyesuaian. Dan lagi, Dumoly menegaskan bahwa masa transisi belum ketok palu dan menunggu keputusan dari Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad. “Transisi masih didiskusikan dengan ketua DK OJK, bisa dua atau tiga tahun,” katanya.
Di tempat yang sama, Kepala Badan Inovasi dan Teknologi Start-up Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Patrick Walujo, mengatakan bahwa fenomena Fintech di Indonesia mesti disikapi dengan cepat. Dalam hal ini, Kadin misalnya langsung membentuk badan atau lembaga baru yang khusus menyoroti mengenai Fintech, yakni Badan Inovasi dan Teknologi Start-up (Bits).
Dikatakan Patrick, Kadin berkepentigan menjadi jembatan antara pelaku lama dengan pelaku start-up dalam hal terjadi sengketa yang mungkin timbul kemudian. “Industri baru akan berpotensi alami tantangan dan sengketa. ini perlu dijembatani,” katanya.
Terlepas dari hal itu, Patrick menyatakan bahwa Fintech menjadi jawaban ketika belum sepenuhnya masyarakat inklusif dengan sektor jasa keuangan, terutama perbankan. Menurutnya, apa yang kini dilakukan OJK sangat patut diapresiasi lantaran cepat merepson fenomena Fintech sektor jasa keuangan ini. Bukti lainnya, OJK bekerjasama dengan Kadin akan menggelar Indonesia Fintech Festival & Conference 2016 tanggal 29–30 Agustus 2016 di BSD, Tangerang Selatan.
Selain mengadakan kegiatan pameran pelaku Fintech se-Indonesia. Dari kegiatan itu nantinya akan kembali dijaring masukan dari berbagai pelaku Fintech yang berbeda latarbelakangannya demi penyempurnaan rancangan POJK tentang Fintech yang masih pada tahap penggodokan. “OJK sangat proaktif dalam Fintech ini,” kata Patrick.
Mengikat Terbatas
Dikatakan Dumoly, pelaku Fintech yang tidak berbadan hukum Indonesia bukan menjadi domain dari pihak yang tunduk dengan aturan OJK nantinya. Sesuai prinsip, segala regulasi memang hanya mengikat kepada pelaku usaha yang mendirikan dan tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Tak bisa dipungkiri memang, pelaku Fintech dari negara manapun ‘bebas masuk’ tanpa batas hingga ke jaringan pengguna internet asal Indonesia.
Lebih lanjut, Dumoly menyatakan bahwa OJK mesti memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa ketika ternyata ada timbul sengketa dengan pelaku Fintech yang bukan berbadan hukum Indonesia, maka sulit apabila ingin melakukan upaya hukum. Kondisi tersebut memunculkan isu lanjutan mengenai aspek perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang patut diperhatikan.
“Itu tidak bisa dilarang (Fintech asing,-red). Tetapi masyarakat perlu tahu mengenai risikonya. OJK tidak akan atur Fintech yang tidak tunduk dengan hukum di Indonesia,” tutupnya.