Iuran merupakan pemasukan utama BPJS Kesehatan dan penting untuk menjaga keberlanjutan program JKN/KIS. Dalam rangka mendukung hal tersebut BPJS Kesehatan telah menerbitkan Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan dan Pembayaran Denda Akibat Keterlambatan Pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan.
Peraturan itu dikeluarkan sebagaimana amanat Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang diubah menjadi Perpres No. 28 Tahun 2016. Beleid terbaru itu mengatur sanksi kepada mereka yang telat membayar iuran. Sanksinya bisa berupa penghentian layanan jaminan kesehatan hingga iuran dilunasi.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai ada 5 kelemahan Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2016 itu. Pertama, unsur upah yang dijadikan dasar pembayaran iuran harusnya upah pokok dan tunjangan tetap. Namun, pasal 1 ayat (10) Peraturan BPJS Kesehatan itu tidak menjelaskan secara jelas basis upah yang digunakan untuk menghitung iuran.
Penjelasan basis upah itu menurut Timboel penting guna memastikan tunjangan tidak tetap yang diterima peserta sebagai pekerja/buruh tidak masuk dalam komponen yang dihitung untuk membayar iuran. Lewat penjelasan yang rinci itu diharapkan mencegah pemberi kerja yang membayar iuran bagi pekerjanya hanya sebatas upah pokok.
Kedua, pasal 6 ayat (1), pasal 10 ayat (1) dan pasal 13 ayat (1) Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2016 mewajibkan pemberi kerja memungut dan membayar iuran dari para pekerjanya kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 setiap bulan. Ketentuan itu kurang rinci dibandingkan pasal 17 ayat (3) Perpres No. 19 Tahun 2016 yang menyebut jika tanggal 10 jatuh pada hari libur maka iuran dibayarkan hari kerja berikutnya.
Ketiga, tata cara pembayaran iuran peserta yang didaftarkan oleh pemerintah daerah (pemda) sebagaimana diatur dalam pasal 5 mestinya menjadi bagian pasal 8 Peraturan BPJS Kesehatan ini. Sebab, pasal 8 mengatur tentang penyampaian tagihan iuran kepada pemda, penyetoran iuran dan rekonsiliasi iuran.
Keempat, Peraturan BPJS Kesehatan ini sebagaimana amanat Perpres No. 19 Tahun 2016 berpotensi mengurangi penerimaan iuran BPJS Kesehatan. Pasalnya, jumlah bulan yang digunakan sebagai acuan pengalian denda pelayanan rawat inap maksimal 12 bulan. “Seharusnya pemberi kerja atau peserta PBPU tetap membayar sesuai jumlah bulan tertunggak. Hal ini bisa kecualikan bagi peserta PBPU yang masuk kategori miskin,” kata Timboel di Jakarta
Kelima, ketentuan pasal 24 ayat (2) dirasa belum lengkap menjelaskan bagaimana status kepesertaan yang tidak membayar kekurangan pembayaran denda tapi terus membayar iuran sesuai bulan berjalan. Kemudian, ketentuan tentang kekurangan atau kelebihan pembayaran denda itu mestinya dilakukan secara transparan sehingga peserta mengetahui dengan pasti.
Ada Pengecualian
Walau mengkritik sejumlah ketentuan, Timboel mengapresiasi pasal 25 Peraturan BPJS Kesehatan ini karena ada pengecualian bagi peserta yang tidak mampu yang terdaftar di kelas 3. Sayangnya, pasal 25 ayat (3) tidak menjelaskan detail maksud frasa ‘instansi yang berwenang setempat yang menyatakan peserta sebagai orang tidak mampu sesuai peraturan perundang-undangan.’ Ketentuan itu perlu diperjelas agar peserta tidak mengalami kebingungan.
Timboel menyambut baik ketentuan pasal 25 ayat (8) yang membuka peluang BPJS Kesehatan mengusulkan kepada dinas sosial atau instansi yang berwenang untuk mendaftarkan peserta tidak mampu untuk menjadi peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang didaftarkan oleh pemerintah pusat atau pemda. “Saya berharap ketentuan ini dilaksanakan dengan baik karena masih banyak orang miskin yang tidak masuk sebagai peserta PBI,” urainya.
Sebelumnya, Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, mengatakan Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2016 menguntungkan peserta karena menghapus denda keterlambatan pembayaran iuran sebesar 2 persen setiap bulan. Tapi dalam regulasi ini ada aturan baru yaitu peserta yang telat bayar iuran lebih dari 1 bulan penjaminannya akan dihentikan sementara. Kemudian ada denda pelayanan rawat inap bagi peserta yang sudah melunasi tunggakan iuran tapi dalam jangka waktu 45 hari setelah membayar tunggakan iuran itu membutuhkan pelayanan rawat inap.
“Denda untuk mendapat pelayanan rawat inap itu sebesar 2,5 persen dari total diagnosis sesuai tarif INA-CBGs,” papar Fachmi