Kebijakan bebas visa yang diterapkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menuai polemik. Meski pemerintahan Jokowi mengklaim kebijakan tersebut demi meningkatkan devisa dari sektor pariwisata, namun tidak berbanding dengan sektor keamanan nasional. Sebab, hal ini membuka kran bagi warga asing sama halnya menggerus peluang kerja bagi tenaga kerja Indonesia di dalam negeri.
Menurut anggota Komisi XI Heri Gunawan, evaluasi terhadap kebijakan bebas visa menjadi keharusan. Setidaknya terdapat empat tahapan yang mesti ditempuh pemerintah dalam melakukan evaluasi.
Pertama, kebijakan bebas visa mesti mengedepankan dampak terhadap keamanan nasional. Yakni, perhitungan analisis risiko keamanan nasional. Ia menilai, polisi dan TNI mestinya dilibatkan secara penuh dalam upaya mencegah bentuk ancaman. Termasuk perang proxy yang sudah muncul di tengah masyarakat.
Kedua, kebijakan bebas visa mesti diberlakukan secara selektif. Kebijakan itu mestinya diterapkan terhadap negara-negara yang memiliki budaya berlibur. Selain itu pula, negara-negara yang minim memiliki jejak rekam kriminal.
Ketiga, kebijakan bebas visa mesti berpihak terhadap kepentingan nasional. Keempat, kebijakan tersebut mestinya ditopang dengan sistem pengawasan yang kuat sepanjang warga asing berada di Indonesia. “Sehingga kita bisa pastikan aktivitas mereka di dalam negeri sampai kembali ke negara asal tidak merugikan,” ujarnya.
Politisi Partai Gerindra itu mengatakan, evaluasi menjadi keharusan secara berkala. Sebab, kebijakan tersebut dapat menjadi pintu masuk ancaman terhadap keamanan nasional. Ia menilai dengan rawannya disalahgunakan bebas visa oleh warga asing, sehingga dapat merampas kesempatan kerja bagi warga lokal. Sebab, berdasarkan data asosiasi serikat pekerja Indonesia setidaknya terdapat tujuh juta orang yang menganggur.
Dikatakan Heri, kebijakan bebas visa menyulitkan petugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan keluar masuknya warga asing. Terlebih, perangkat teknologi pengawasan dan pemeriksaan imigrasi belum memadai.
“Kita sangat memahami tujuan pemerintah untuk mendongkrak devisa lewat kebijakan tersebut. Namun, harus tetap dievaluasi untung-ruginya, termasuk analisis risiko terhadap keamanan nasional. Buat apa punya devisa segunung, tapi keamanan nasional terancam,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi IX Saleh Partaonan Daulay mengatakan, kebijakan bebas visa perlu segera dievaluasi. Ia menyarankan agar pemerintah tidak menerapkan kebijakan tersebut hingga perangkat dan sistem pengawasan telah siap. Setidaknya, sistem pengawasan terpadu perlu disiapkan sebelum kebijakan bebas visa diberlakukan. “Kebijakan bebas visa perlu dievaluasi,” ujarnya.
Ia mengatakan sistem pengawasan terpadu mestinya melibatkan banyak pihak. Mulai unsur imigrasi, dinas ketenagakerjaan, kepolisian, dan elemen masyarat. Tak hanya itu, basis pengawasan melalui pengembangan jaringan sistem informasi menjadi hal yang amat mendesak.
Politisi Partai Amanat Nasional itu menilai menjadi beralasan ketika Disnaker di daerah kesulitan melakukan pengawasan terhadap tenaga kerja asing. Soalnya, jumlah pengawas yang dimiliki pemerintah kini masih berkisar diangka 1200. Hal itu tidak berbanding lurus dengan jumlah perusahaan dan luasnya daerah.
Anggota Komisi I Syaifullah Tamliha punya pandangan serupa. Menurutnya evaluasi terhadap kebijakan bebas visa. Ia menyarankan agar kebijakan bebas visa hanya diterapkan terhadap paspor diplomatic dan paspor dinas. Sementara terhadap orang yang tidak memiliki paspor diplomat dan service passport, mesti memiliki visa.
Ia menunjuk negara Kazakstan. Menurutnya paspor diplomatik dan service passport atau paspor dinas tidak menggunakan visa. “Sementara warga negara biasa harus menggunakan visa agar memudahkan intelijen kita memantau keberadaan orang yang berada di Indonesia,” pungkasnya.